Simple, efesien dan efektif. Menurut gue bahasa Indonesia perlu sebuah revolusi menjadi bahasa yang mudah dipahami. Artikel, paragraf dan kalimat dalam perspektif gue, sebenarnya nggak harus ribet dan kaku. Baik itu dalam pemaparan teori, penjelasan umum dan presentasi.
Sejak gue kelas 1 SD, gue mulai mengenal buku pelajaran. Kadang gue kesal, membaca teori dengan bahasa yang ribet dan terlalu kompleks, sehingga gue jadi malas baca buku. Gue lebih senang memahaminya dengan cara gue sendiri atau melakukan praktek dan melihat tayangan video.
Tapi kacaunya, di saat ujian atau tes tertulis, beberapa guru hobinya memberikan ujian teori. Disana berjubel pertanyaan mengenai defenisi, ciri-ciri, dan maksud dari sebuah topik pelajaran. Tapi terkadang ujian teori ini kok kelihatan menyimpang dari maksud sebenarnya. Mereka malah menawarkan lomba teks book.
Budaya menghafal pun jadi tradisi yang tak dapat ditinggalkan hingga kini. Namun dari pengamatan gue, hafalan itu hanya bullshit semata. Kita bisa saja hafal arti dari sebuah tema dan topik pembelajaran, tapi itu tak lama. Gue yakin, hafalan ketika SMP pasti kebanyakan orang sudah lupa waktu dia sudah SMA. Atau hafalan sebulan lalu, pasti sudah lupa sekarang ini.
Beda jadinya kalau hafalan itu kita pahami maknanya dengan bahasa kita sendiri. Makanya gue lebih menganggap kurikulum praktik lebih agung ketimbang kurikulum teori. Dengan praktik, kita bisa mendefenisikan sesuatu dengan cara dan pemahaman kita masing-masing.
Manusia itu pribadi yang berbeda. Terus terang, pola pembelajaran kita hingga kini masih mengaggungkan teori-teori dan hafalan. Tak heran jika bangsa kita banyak melahirkan komentator ketimbang penggagas dan inovator. Menciptakan pekerja (karyawan, PNS, buruh, dsb) ketimbang pengusaha dan wiraswasta.
Hal yang berbeda kondisinya dengan negara-negara yang memang maju. Kenapa kita lambat untuk maju? Hal itu simpel sebenarnya. Pandangan pribadi gue, salah satu penyebabnya adalah bahasa dan teori pemaparan yang kita pakai selama ini membuat masyarakat kita ini makin pusing.
Satu contoh, baru-baru ini gue membaca sebuah berita di m.metrotvnews.com berjudul "Rusia Gaungkan Semangat Kemenangan Soviet atas Nazi" yang diposting pada 10 Mei 2014 pukul 05.21 WIB.
Di dalam berita ini munculah istilah fasisme. Hemat gue, Rusia yang dulunya masih tersatukan dalam Uni Soviet berhasil memusnahkan paham fasisme yang digawangi Nazi di Jerman kala itu. Mereka merayakannya tiap tahun sampai sekarang.
Dibenak gue muncul pertanyaan apa sih sebenarnya fasisme? Gue klik wikipedia dan menemukan defenisi fasisme. Tapi asli deh, gue pusing memaknai apa itu fasisme setelah membacanya. Dalam artikel wikipedia dipaparkan secara gamblang fasisme dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Begini bahasanya:
""Fasisme (/ fæʃɪzəm /) adalah, gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi.
Mereka menganjurkan pembentukan partai tunggal negara totaliter yang berusaha mobilisasi massa suatu bangsa dan terciptanya "manusia baru" yang ideal untuk membentuk suatu elit pemerintahan melalui indoktrinasi, pendidikan fisik, dan eugenika kebijakan keluarga termasuk.
Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang kuat, identitas kolektif tunggal, dan akan dan kemampuan untuk melakukan kekerasan dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat. pemerintah Fasis melarang dan menekan oposisi terhadap negara. Fasisme didirikan oleh sindikalis nasional Italia dalam Perang Dunia I yang menggabungkan sayap kiri dan sayap kanan pandangan politik, tapi condong ke kanan di awal 1920-an.
Para sarjana umumnya menganggap fasisme berada di paling kanan. Fasis meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai memberikan perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan renovasi spiritual, pendidikan, menanamkan sebuah keinginan untuk mendominasi dalam karakter orang, dan menciptakan persaudaraan nasional melalui dinas militer .
Fasis kekerasan melihat dan perang sebagai tindakan yang menciptakan regenerasi semangat, nasional dan vitalitas. Fasisme adalah anti-komunisme, anti-demokratis, anti-individualis, anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis dan anti-proletar, dan dalam banyak kasus anti-kapitalis Fasisme. menolak konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin, hirarki, semangat, dan keinginan. Dalam ilmu ekonomi, fasis menentang liberalisme (sebagai gerakan borjuis) dan Marxisme (sebagai sebuah gerakan proletar) untuk menjadi eksklusif ekonomi berbasis kelas gerakan Fasis ini.
ideologi mereka seperti yang dilakukan oleh gerakan ekonomi trans-kelas yang mempromosikan menyelesaikan konflik kelas ekonomi untuk mengamankan solidaritas nasional Mereka mendukung, diatur multi-kelas, sistem ekonomi nasional yang terintegrasi""
Asli gue sampai ngos-ngosan membaca artikel ini dan nggak paham, gue sampai baca beberapa kali supaya paham dan menyederhanakan maksudnya.
Yang jelas, bahasa-bahasa Indonesia yang ribet ini masih akan kita jumpai di buku-buku pelajaran, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau juga Hukum Perdata, Undang-undang lainnya, Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Presiden (Perpres) dan peraturan-peraturan lain secara tertulis. Dibenak gue, pantesan pengamat hukum dan politik itu cuma banyak mengungkapkan teori. Tapi minim penerapan, apa mungkin karena mereka juara teks book ya?
Yuk, kita telaah satu contoh lainnya, kali ini bahasa yang ada di dalam KUHP.
"Pasal 335 KUHP Pasal 1. 1. Â Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah"
Tuh, pusing banget kan bacanya? gue yakin polisi, jaksa atau hakim pun nggak bakalan hafal pasal ini kalau nggak lihat buku. Hakim pun kalau dilihat selama ini, saat sebelum membacakan tuntutan, vonis dll kayaknya udah biasa dengan mulut berbuih-buih memaparkan pasal tadi.
Kalau gue sih simpel aja, menurut versi gue pasal ini sih bisa dipaparkan seperti ini:
Siapa yang memaksa seseorang menggunakan ancaman atau kekerasan untuk:
1. Tidak melakukan sesuatu
2. Melakukan sesuatu
3. Membiarkan sesuatu
Terhadap perbuatan yang tidak menyenangkan termasuk kepada orang lain, maka pelaku diancam
1. Penjara maksimal satu tahun
2. Denda empat ribu lima ratus rupiah.
Eh iya, gue nemuin sesuatu, masalah denda di KUHP zaman sekarang kok tidak representatif ya. Denda empat ribu lima ratus? Tiap tahun, sebagai negara berkembang kita kan mengalami inflasi, deflasi dan sebagainya, sehingga ada pertambahan nilai dan penurunan nilai barang atau jasa.
Kalau dulu tahun 1993 harga Indomie goreng instant Rp350,- kini tahun 2014 harga Indomie goreng instant Rp2.000. Kalau dulu tahun 1998 harga pangkas rambut Rp5000 kini tahun 2014 pangkas rambut Rp20.000,-.
Kalau sekarang dikasih denda Rp4,500? Aneh banget pastinya.
Nah kok jadi bahas masalah ketidakdinamisan denda dalam KUHP pula? Â cut!
Tapi untuk saat ini, begitulah kira-kira bahasa-bahasa ribet yang sering kita jumpai di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Memang sih, teori yang bagus harus dipaparkan dengan rinci dan detail. Namun bagi gue, nggak berarti hal itu harus dipaparkan dengan bahasa yang ribet dan panjang. Ini yang menyebabkan sistem menghafal mau tidak mau harus dipakai selama ini. Kalau bisa simpel, kenapa harus dibikin ribet?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H