"Sebagai pemimpin politik, jangan kita terlalu senang melihat angka-angka statistik yang membuat kita terlalu cepat gembira, terlalu cepat puas, padahal kita belum melihat gambaran sepenuhnya. Kita merasa bangga bahwa kita diterima di kalangan G-20, kita merasa bangga bahwa kita disebut ekonomi ke-16 terbesar di Dunia. Tapi, apakah kita sungguh-sungguh paham, apakah kita sungguh-sungguh melihat gambaran yang utuh dari keadaan kita". Kalimat ini merupakan potongan pidato Presiden Prabowo pada 20 Oktober 2024 yang lalu. Harapan besar masyarakat dipundakkan kepada pemerintahan baru Kabinet Merah Putih.
Pidato tersebut seolah menyiratkan bahwa dalam membangun sebuah negara, pemimpin harus melihat kondisi masyarakat secara menyeluruh dan utuh. Data statistik hanya satu dari banyak informasi yang berperan besar dalam pembangunan negara ini. Dalam perjalanan selama ini, masyarakat telah akrab dengan data statistik.
Namun, bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa terkadang data statistik sering tidak dipahami secara benar, terburu-buru, salah kaprah, dan ngawur oleh sebagian kelompok. Seringnya data statistik hanya dijadikan klaim politik tanpa mengetahui apa esensi sebenarnya dari data tersebut, sehingga kebijakan yang diambil terkadang hanya berdasarkan asumsi tanpa dasar yang jelas dalam eksekusinya.
Apakah ada yang salah dengan data statistik ?
Indonesia memiliki lembaga resmi yang memiliki tugas dalam melaksanakan kegiatan statistik misalnya Badan Pusat Statistik (BPS) dengan tugas menyediakan data statistik dasar. Selain BPS, tentu masih banyak juga Lembaga Pemerintah yang memiliki data statistik dalam menunjang kebijakan pembangunan.
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo sempat menyinggung masalah ekonomi, kemiskinan, ketenagakerjaan, dan lain-lain, yang semuanya berasal dari data statistik. Lalu apakah ada yang salah dengan data statistik?
Pesan dari Presiden sebenarnya bukan tentang data statistiknya, tetapi tentang paradigma pemimpin yang jangan cepat gembira dan puas terhadap data statistik tanpa melihat secara menyeluruh. Hal ini cukup berasalan, mengingat data statistik utamanya statistik dasar yang dihasilkan oleh BPS itu bersifat makro dan memiliki batasan-batasan.
Sebagai contoh, data persentase penduduk miskin Maret 2024 suatu daerah tercatat sebesar 5 persen yang mengalami penurunan dibandingkan kondisi Maret 2023 yang tercatat sebesar 6 persen. Jika melihat data statistik tersebut, bisa jadi pemerintah mengatakan bahwa ada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang signifikan.
Namun, sebenarnya pernyataan tersebut terasa terburu-buru dalam mengambil kesimpulan mengenai kondisi kesejahteraan masyarakat. Jika melihat dari satu sisi, memang benar ada indikasi persentase penduduk kemiskinan Maret mengalami penurunan secara y on y. Tetapi bagaimana jika secara bersamaan ada fenomena kelas menengah yang turun kelas, ada fenomena maraknya PHK, dan ada fenomena naiknya harga-harga bahan pokok?
Semua fenomena itu menyiratkan bahwa dalam menyimpulkan apakah kesejahteraan masyarakat meningkat signifikan tentunya tidak hanya dengan melihat satu sisi saja. Pemerintah mestinya melihat gambaran secara utuh dan menyeluruh terhadap kondisi masyarakat.