Dewasa ini, isu ketahanan pangan kian santer diperbincangkan. Bahkan, pada Rakornas Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah, Presiden Jokowi menyatakan bahwa kondisi perubahan iklim global yang memicu kenaikan suhu dunia akan membawa ancaman kelaparan di seluruh dunia pada tahun 2050. Lebih lanjut lagi, Jokowi memberikan perhatian kepada jajaran terkait untuk mengantisipasi berkurangnya produksi pangan yang pada akhirnya akan menyebabkan inflasi yang merugikan sebagian besar masyarakat.
Dalam kaitannya dengan isu ini, salah satu target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) Indonesia adalah menghilangkan kelaparan pada tahun 2030. Lebih rinci lagi pada tahun 2030, targetnya adalah menghilangkan kelaparan dan menjamin akses bagi semua orang khususnya orang miskin dan mereka yang berada dalam kondisi rentan, termasuk bayi, terhadap makanan yang aman, bergizi, dan cukup sepanjang tahun (Bappenas, 2020). Pada praktiknya, indikator prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan atau Prevalence of Undernourishment (PoU) menjadi indikator untuk melihat perkembangan pencapaian target tersebut.
Pemerintah nampaknya terus memberikan perhatian yang serius pada ketahanan pangan. Lebih lagi, adanya fenomena pemberian bantuan sosial pangan yang gencar dilaksanakan bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat. Program tersebut tentunya dilaksanakan secara nasional. Namun di Provinsi Sulawesi Selatan, agenda pembangunan ini nampaknya tidak akan berjalan mudah dan akan menemui banyak tantangan dengan melihat indikator ekonomi saat ini seperti perlambatan ekonomi yang disebabkan penurunan produksi pertanian.
Perlambatan ekonomi dan kontraksi pada sektor pertanian di Sulawesi Selatan
Pada 6 Mei 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi triwulan 1 tahun 2024. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tercatat sebesar 4,82 persen (y on y) dibandingkan triwulan 1 tahun 2023. Angka ini lebih rendah dibanding level nasional yang tercatat sebesar 5,11 persen pada periode yang sama. Disadari dalam 4 tahun terakhir ini, pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal 2020 memberikan pengaruh signifikan terhadap dinamika pembangunan ekonomi di seluruh daerah, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan. Sebagai catatan, pasca pandemi tersebut, ekonomi Sulawesi Selatan nampaknya belum mampu pulih sepenuhnya dan pertumbuhan ekonomi belum tercatat sebesar sebelum adanya pandemi.
Disatu sisi, berdasarkan data BPS, struktur ekonomi Sulawesi Selatan masih ditopang oleh sektor primer (pertanian, kehutanan, dan perikanan serta pertambangan dan penggalian) yang tercatat sekitar 25 persen dari total kue ekonomi. Disisi lain, sektor primer ini nampaknya sangat dipengaruhi oleh fenomena alam yang bisa jadi menjadi tantangan tersendiri dimasa sekarang. Misalnya tahun 2023, adanya fenomena El-Nino yang diindikasikan menjadi faktor utama penyebab penurunan produksi pertanian di Sulawesi Selatan. Ini terbukti dengan catatan pada triwulan 1 tahun 2024, kategori A (pertanian, kehutanan, dan perikanan) menjadi satu-satunya yang mengalami kontraksi yaitu tercatat sebesar -3,72 persen (y on y). Kontraksi pada sektor pertanian tentunya perlu menjadi perhatian khusus, mengingat sektor ini akan terkait dengan penyediaan pangan domestik di Sulawesi Selatan.
Lebih jauh lagi, sebesar 34,29 persen tenaga kerja di Sulawesi Selatan bekerja di kategori A (pertanian, kehutanan, dan perikanan) berdasarkan catatan BPS pada Februari 2024. Ini berarti bahwa kategori yang memiliki jumlah tenaga kerja terbesar justru mengalami penurunan nilai tambah ekonomi yang paling dalam. Artinya, secara makro dapat diindikasikan bahwa kontraksi ekonomi dialami oleh sebagian besar tenaga kerja meskipun ini perlu kehati-hatian dalam mencermatinya karena adanya perbedaan referensi waktu pada dua indikator tersebut. Namun, indikasi ini harus menjadi kewaspadaan mengingat salah satu kantong kemiskinan berada pada sektor primer tersebut. Sehingga, ketika sebagian besar tenaga kerja mengalami penurunan pendapatan, maka dikhawatirkan juga menurunkan konsumsi mereka sehingga akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan dasarnya. Jika tidak diantisipasi, boleh jadi kontraksi sektor pertanian yang terjadi dalam beberapa waktu akan menyebabkan kenaikan jumlah penduduk miskin bahkan kenaikan pada penduduk miskin ekstrem.
Pertumbuhan ekonomi sektor pertanian melambat, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan meningkat
Selanjutnya berdasarkan catatan BPS, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan Provinsi Sulawesi Selatan bergerak fluktuatif namun cenderung meningkat setidaknya dalam 7 tahun terakhir. Angka prevalensi tersebut mencapai titik tertinggi pada tahun 2022 yang tercatat 10,79 persen, jauh dari angka persentase penduduk miskin yang tercatat sebesar 8,63 persen pada tahun yang sama. Indikasinya, pada tahun tersebut semakin banyak penduduk yang mengalami kerentanan dalam pemenuhan konsumsi pangannya meskipun tidak tergolong miskin. Kondisi tren kenaikan prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan nampaknya juga diikuti dengan tren perlambatan ekonomi sektor pertanian. Dalam 7 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Sulawesi Selatan nampak bergerak flutuatif dan cenderung melambat utamanya pada tahun 2022 dan 2023. Perlambatan ini tentunya akan berdampak pada sisi penyediaan bahan pangan dan tentu saja berdampak pada tertekannya pendapatan tenaga kerja sektor pertanian tersebut. Belum lagi, sejak tahun 2022 terjadi inflasi yang cukup tinggi sehingga juga menekan daya beli masyarakat kelas bawah.
Mewaspadai kenaikan jumlah penduduk miskin ekstrem