Pernahkah Anda mencoba menerjemahkan "I love you to the moon and back" ke bahasa Indonesia menggunakan Google Translate? Hasilnya mungkin "Aku mencintaimu sampai ke bulan dan kembali".
Secara teknis benar, tapi terdengar kaku, seperti robot yang baru saja menelan kamus. Bandingkan dengan ungkapan manusiawi, "Aku mencintaimu lebih dari jarak bulan pulang-pergi".
Nuansanya berbeda, bukan? Ini hanya satu dari ribuan contoh bagaimana mesin penerjemah---yang katanya canggih---masih gagal memahami keindahan dan kompleksitas bahasa manusia.
Tapi jangan buru-buru menyalahkan Google Translate. Justru dari sinilah kita bisa membaca masa depan AI: penuh janji, tapi juga dihantui oleh kesalahan yang sama berulang kali.
Sebelum ChatGPT jadi buah bibir, Google Translate-lah yang menjadi "teman setia" mahasiswa yang malas baca jurnal berbahasa asing, atau turis yang nekat jalan-jalan ke luar negeri tanpa modal kursus bahasa.
Diluncurkan tahun 2006, layanan ini awalnya hanya mendukung tiga bahasa. Kini, ia mengklaim bisa menerjemahkan 249 bahasa---meski faktanya, angka itu hanya 4% dari total bahasa di dunia.
Bagi penutur bahasa mayor seperti Inggris atau Spanyol, Google Translate mungkin cukup membantu. Tapi coba tanyakan pada orang Palu yang ingin menerjemahkan bahasa daerahnya, atau pengungsi Rohingya yang berjuang memahami dokumen hukum. Hasilnya? Seringkali menggelikan, kadang berbahaya.
Pada 2021, Google Translate mencapai 1 miliar unduhan. Tapi survei tahun 2022 mengungkap fakta menarik: 98% pengguna hanya memakainya untuk keperluan santai, seperti menerjemahkan meme atau caption Instagram.
Hanya 2% yang berani mengandalkannya untuk situasi serius---seperti konsultasi medis atau melapor ke polisi. Alasannya jelas: mesin ini kerap salah mengartikan istilah teknis.
Bayangkan jika dokter di pelosok NTT menggunakan Google Translate untuk memahami instruksi obat dari manual berbahasa Cina. Risikonya bukan sekadar salah paham, tapi nyawa melayang.
Di kasus suaka pengungsi, kesalahan terjemahan mesin pernah menyebabkan permohonan ditolak karena kata-kata yang seharusnya memilukan justru terdengar seperti lelucon.