Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Tradisional dan Barbershop: Memilih dengan Hati, Bukan Harga

27 Januari 2025   13:30 Diperbarui: 27 Januari 2025   16:45 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di kota Palu, gerai barbershop dengan tanda khas berupa tabung berputar merah, putih, dan biru semakin mudah ditemukan (dok. pribadi/ikhsan madjido)

Potong rambut adalah tradisi yang melekat pada kehidupan manusia. Dari zaman dahulu hingga sekarang, kegiatan ini berkembang pesat, mulai dari metode tradisional hingga modern. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi perjalanan potong rambut dari era tukang cukur tradisional hingga maraknya barbershop yang kini populer, sambil melihat bagaimana pengalaman personal memengaruhi kecocokan seseorang dengan tukang cukur langganannya.

Memori Potong Rambut di Masa Kecil

Sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an, potongan rambut kuncung menjadi tren di kalangan anak-anak. Saya, kakak lelaki, dan adik lelaki saya pun pernah mengalami masa-masa potongan rambut ala "Ronaldowati"---model rambut yang mengingatkan pada gaya Ronaldo dari Brasil. Kala itu, tukang cukur tradisional mendominasi. Bapak saya selalu membawa saya ke pasar tradisional untuk mencukur rambut. Meski banyak tukang cukur di sana, kami selalu memilih satu orang yang terasa "klik." Pernah mencoba tukang cukur lain, tapi rasanya kurang pas meski hasil akhirnya sama.

Pada tahun 1990-an, tukang cukur di pasar mulai berkurang. Sebagian besar digantikan oleh salon yang banyak dikelola oleh waria. Setelah menemukan waria yang cocok dengan selera saya, dia menjadi langganan saya hingga awal 2000-an, tentunya dengan potongan rambut yang lebih modern. Transisi ini menunjukkan bahwa bukan hanya hasil akhir yang penting, melainkan juga suasana hati dan kecocokan personal.

Memasuki tahun 2000-an, mulai bermunculan tukang pangkas rambut Madura di daerah saya. Saya pun mencoba mencari yang cocok dan akhirnya menemukan satu yang pas. Keputusan memilih langganan bukanlah soal harga, melainkan kenyamanan batin.

Di tahun 2010-an, barbershop mulai menjamur, bersaing dengan pangkas Madura. Saya sempat berganti-ganti tempat hingga menemukan barbershop favorit. Ketika langganan saya pulang kampung selama tiga bulan, saya memilih membiarkan rambut gondrong daripada mencari alternatif yang tak nyaman.

Tukang Cukur Tradisional di Pasar Walatana

Di pasar tradisional Walatana, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, tradisi potong rambut ala masa lalu masih bertahan. Pasar yang buka setiap lima hari sekali ini menjadi tempat berkumpul para tukang cukur yang sudah mengabdi sejak tahun 1970-an. Meskipun jumlah mereka semakin berkurang, beberapa pelanggan setia tetap memilih jasa mereka. Bahkan, ada pelanggan yang membawa anak-cucu mereka untuk merasakan pengalaman potong rambut tradisional.

Prosesnya sederhana, hanya 15--20 menit per orang, menggunakan gunting rambut kodok dan pisau cukur besar khas zaman dahulu. Beberapa tukang cukur memang sudah beralih ke alat listrik, tetapi banyak pelanggan yang tetap meminta menggunakan metode tradisional. Tradisi ini menjadi salah satu daya tarik pasar tradisional yang mempertahankan kearifan lokal.

Barbershop: Gaya Hidup Masa Kini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun