Isra' Mi'raj adalah salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam yang terus diceritakan secara turun-temurun. Namun, ada sejumlah kesalahkaprahan yang sudah berlangsung berabad-abad dan menjadi narasi yang tak tergoyahkan.
Salah satunya adalah anggapan bahwa Isra' Mi'raj dilakukan Rasulullah SAW untuk menerima perintah shalat lima waktu. Benarkah demikian?
Kisah yang Kita Ketahui Sejak Kecil
Sebagian besar dari kita mengenal kisah Isra' Mi'raj seperti ini: pada suatu malam, Rasulullah SAW melakukan perjalanan dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina dengan mengendarai Buraq, makhluk berwujud seperti kuda bersayap dengan wajah manusia yang cantik.
Dari Masjidil Aqsha, beliau melanjutkan perjalanan ke langit bersama Malaikat Jibril. Di setiap lapisan langit, mereka bertemu penjaga langit dan nabi-nabi terdahulu, hingga akhirnya sampai di Sidratul Muntaha di langit ketujuh.
Di Sidratul Muntaha, Rasulullah disebut-sebut bertemu Allah dan menerima perintah shalat lima puluh waktu. Namun, atas saran Nabi Musa yang berada di langit keenam, Rasulullah "tawar-menawar" jumlah shalat hingga akhirnya hanya diwajibkan lima waktu saja.
Padahal berdasarkan hadis-hadis yang mengisahkan perjalanan Isra' Mi'raj, diketahui bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat di beberapa tempat pemberhentian selama perjalanan tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa beliau sudah menjalankan shalat sebelumnya. Jadi, benarkah tujuan perjalanan ke langit ketujuh itu untuk menerima perintah shalat, ataukah sebenarnya memiliki tujuan lain?
Mengapa Kisah Ini Mengganggu Nalar?
Ketika mendengar kisah ini, ada banyak pertanyaan yang menggelitik nalar. Pertama, benarkah perjalanan luar biasa ini dilakukan dengan menunggangi makhluk berwujud kuda bersayap berkepala manusia? Bukankah ini lebih terdengar seperti dongeng dibandingkan peristiwa nyata yang penuh hikmah?