Siapa sangka sebuah sekolah darurat bisa menjadi panggung utama drama kehidupan? SDN 21 Palu mungkin bukan sekolah biasa. Dengan dinding dari anyaman bambu yang lebih mirip kandang ternak dan atap terpal yang akan mengalah pada setiap hujan, tempat ini lebih cocok untuk festival seni tradisional daripada kegiatan belajar mengajar. Tapi, di sinilah ratusan siswa menuntut ilmu setiap harinya.
April 2019 adalah kali pertama Sunarti, guru yang baru saja diangkat menjadi kepala sekolah, menginjakkan kaki di sekolah ini. Bayangkan: suara bising anak-anak bercampur dengan deru angin yang menembus celah dinding bambu.
"Bu, kapan istirahat?" adalah pertanyaan yang paling sering terdengar, bahkan sebelum jam pelajaran dimulai. Panas terik membuat fokus menjadi barang mahal. Guru-guru pun hanya bisa maklum.
Ketika hujan datang, panggung berubah. Tak ada lagi pelajaran, hanya suara air menetes di mana-mana. Buku-buku berusaha diselamatkan seperti korban kecelakaan yang butuh evakuasi darurat. Pernah suatu kali, anak kelas lima meminta pelajaran dipindah ke halaman. Alasannya? "Bu, di luar lebih adem, di dalam kayak sauna."
Namun, bukan panas atau hujan yang menjadi masalah terbesar. Dinding bambu itu, meski terlihat sederhana, menyimpan ancaman kesehatan. Tiga siswa harus dirawat karena sesak napas akibat debu. Orang tua mengira itu karena "partikel bambu." Saya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai "pengingat agar tidak menyerah."
Gedung sekolah yang dulunya megah hancur akibat gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi pada 2018. Saat ini, tenda darurat sumbangan UNICEF menjadi satu-satunya tempat berlindung. Sekolah darurat itu hanya "sementara," tapi bertahan cukup lama untuk menjadi rumah bagi ratusan impian kecil.
Dalam dua hari pertama, bersama guru-guru yang 100 persen perempuan, kepala sekolah mengubah dinding bambu menjadi papan dan mengganti atap dengan sagu rumbia. Hasilnya? Masih jauh dari sempurna, tapi cukup untuk membuat siswa berhenti bertanya kapan istirahat. Suasana kelas pun mulai berubah. Bersama guru dan siswa, kami membersihkan lingkungan sekolah hingga terlihat layak untuk disebut "tempat belajar."
Aksi Si Jago Merah
Namun, cobaan belum selesai. Subuh Sabtu, 24 Agustus 2019, menjadi awal dari bab baru dalam petualangan ini. Telepon berdering, dan kabar buruk datang: "Bu, sekolah kita terbakar!" Tangan saya gemetar, kaki seolah kehilangan tenaga. Dalam perjalanan menuju sekolah, saya hanya bisa berharap ini mimpi buruk.