Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Hukum

MK Tolak Uji Pasal Penghinaan Presiden

3 Januari 2025   20:36 Diperbarui: 3 Januari 2025   20:36 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak permohonan pengujian materiil terkait Pasal 218 dan Pasal 219 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Putusan ini dibacakan dalam sidang pada Jumat (3/1/2025) oleh Ketua MK, Suhartoyo.

"Mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," ujar Suhartoyo saat membacakan putusan.

Permohonan ini diajukan oleh Muhammad Amir Rahayaan, Hamka Arsad Refra, Harso Ohoiwer, dan Hasanudin Raharusun. Para Pemohon berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut mencerminkan konsep Lse Majest yang lebih relevan diterapkan di negara monarki, bukan di Indonesia sebagai negara demokrasi berbasis republik.

Pasal 218 KUHP mengatur hukuman hingga 3 tahun 6 bulan atau denda kategori IV bagi siapa saja yang menyerang kehormatan Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Pasal 219 menambah ancaman pidana hingga 4 tahun 6 bulan jika penghinaan disebarluaskan melalui media informasi.

Menurut Hamka Arsad Refra, salah satu Pemohon, pasal-pasal ini menerapkan konsep yang keliru. 

"Prinsip primus interpares (yang pertama di antara yang sederajat) seharusnya hanya diterapkan pada hak-hak khusus presiden yang mendukung tugas kepemimpinannya, bukan pada pidana penghinaan," ungkapnya.

Namun, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa pasal-pasal yang diajukan belum berlaku efektif sehingga pengajuan permohonan ini dianggap prematur. 

Selain itu, MK menegaskan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.

"Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan karena tidak ada relevansinya," ujar Ridwan.

Dengan putusan ini, perdebatan tentang perlindungan kehormatan Presiden dalam sistem hukum Indonesia masih menjadi tantangan, terutama dalam menyeimbangkan antara menjaga martabat kepala negara dan kebebasan berpendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun