Pagi itu, 3 Januari 2025, kopi panas di tangan saya terasa lebih nikmat dari biasanya. Kabar mengejutkan hadir di layar ponsel: Presidential Threshold resmi dihapuskan! Mahkamah Konstitusi membuat keputusan bersejarah.
Tak ada lagi syarat ambang batas pencalonan presiden yang selama ini menjadi tembok besar bagi mimpi banyak orang. Kini, siapa pun yang didukung oleh partai politik peserta pemilu punya hak yang sama untuk mencalonkan diri.
Bagi banyak orang, ini adalah kemenangan demokrasi. Partai-partai kecil yang selama ini terpinggirkan, kini punya panggung untuk bersaing. Surat suara 2029 nanti mungkin lebih ramai dari katalog belanja online.
Nama-nama tak terduga akan bermunculan, mulai dari aktivis lingkungan, pengusaha startup kopi, hingga pedagang martabak telor di ujung jalan. Dan, tentu saja, saya---seseorang yang sudah menyiapkan pidato pelantikan sebelum tahu apa itu threshold---juga siap melangkah ke panggung itu.
Jika saya menjadi presiden, janji normatif seperti mensejahterakan rakyat, memberantas korupsi, hingga pendidikan dan kesehatan gratis tentu menjadi prioritas. Namun, saya tak berhenti di situ. Saya punya mimpi besar: membawa Timnas Indonesia menjuarai Piala Dunia 2034 di Arab Saudi.
Caranya? Dimulai dari kurikulum sepak bola nasional, di mana sejak TK anak-anak diajari menggiring bola (bukan janji). Lalu, liga RT-RW akan menjadi ajang pencarian bakat, dan pelatih internasional kaliber Liga Champions akan didatangkan untuk Garuda Muda. Mungkin terdengar ambisius, tapi bukankah bangsa yang besar dimulai dari mimpi yang besar pula?
Keputusan MK ini akan memaksa partai-partai besar untuk lebih kompetitif dan transparan. Tidak ada lagi monopoli kandidat atau sikap eksklusif. Demokrasi menjadi lebih hidup, penuh warna, dan---tentu saja---lebih menarik.
Bayangkan nanti, di 2029, saya berdiri di podium kampanye, diiringi massa yang bersorak membawa poster bertuliskan, "Piala Dunia 2034, Here We Come!"
Saya akan berkata, "Kalau Messi bisa membawa Argentina juara, kenapa kita tidak? Kalau negara kecil bisa bermimpi besar, kenapa kita harus ragu?"
Keputusan ini memang membuka peluang, tapi juga membawa tanggung jawab besar. Masyarakat harus cerdas memilih pemimpin yang tidak hanya pandai berjanji, tapi punya visi dan keberanian untuk mewujudkannya. Pemerintah juga harus memastikan aturan baru ini berjalan adil tanpa manipulasi.