Di Sudan, suara tembakan, dentuman bom, dan peluru nyasar sudah menjadi irama kehidupan sehari-hari. Namun, sesuatu telah berubah. Kekerasan yang dulu terpusat di pinggiran kini merangsek ke jantung negeri, ke Khartoum, ibu kota yang dulunya menjadi simbol kekuasaan.
Pindahnya pemerintahan sementara ke Port Sudan, kota pesisir Laut Merah yang berjarak hampir 1.000 kilometer, menjadi pengingat nyata betapa genting situasi saat ini.
Konflik di Sudan bukanlah cerita baru. Tetapi di balik perang yang seolah tanpa akhir, ada pola yang terus berulang: ketimpangan. Kekuasaan dan sumber daya selalu terkonsentrasi di "pusat," sementara wilayah "pinggiran"---yang kaya akan keberagaman etnis dan budaya---dibiarkan terlantar. Perjuangan mereka adalah tentang hak, kesetaraan, dan pengakuan.
Dari Ketidakadilan Menuju Perpecahan
Pada masa Presiden Omar al-Bashir, narasi konflik diubah menjadi perang agama---utara Muslim melawan selatan yang Kristen atau sekuler. Ketegangan ini memuncak pada 2011 ketika Sudan Selatan memilih memisahkan diri. Tetapi, perpisahan itu tidak menjadi akhir cerita.
Kehilangan sepertiga wilayah, seperempat populasi, dan sebagian besar sumber dayanya, Sudan tetap terjebak dalam siklus konflik. Ketidakadilan yang melahirkan pemberontakan pertama pada 1955 dengan kelompok Anya-Nya 1, terus bergema.
Bahkan perang terbaru antara militer Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat (RSF) adalah manifestasi baru dari akar masalah lama: marginalisasi dan eksklusi.
Konflik yang Membara di Darfur
Sementara Sudan Selatan membentuk negara baru, Darfur menjadi medan perang berikutnya. Pada 2003, pemberontakan pecah, dipicu tuduhan marginalisasi oleh pemerintah. Konflik ini berubah menjadi tragedi etnis ketika pemerintah mempersenjatai milisi Janjaweed.
Salah satu pemimpinnya, Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, kini menjadi tokoh kunci dalam konflik terbaru Sudan.