Kebijakan ini, meski bertujuan meningkatkan pendapatan negara, menuai resistensi yang signifikan dari masyarakat. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi respons keras ini?
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di Indonesia telah memancing gelombang protes. Salah satunya demonstrasi mahasiswa di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat.Kebijakan ini dirasakan memberatkan, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Sebagai pajak konsumsi, PPN langsung memengaruhi harga barang dan jasa yang digunakan sehari-hari.
Bagi masyarakat kecil, kenaikan ini mengurangi daya beli mereka secara signifikan. Di sisi lain, bagi kelompok mahasiswa yang sering kali menjadi motor penggerak demonstrasi, kebijakan ini dipandang sebagai cerminan ketidakadilan, terutama di tengah perjuangan banyak keluarga untuk bangkit dari tekanan ekonomi pasca pandemi.
Resistensi masyarakat terhadap kebijakan ini juga mencerminkan kurangnya transparansi dalam komunikasi publik. Pemerintah belum mampu meyakinkan masyarakat bahwa pendapatan tambahan dari kenaikan pajak ini akan dialokasikan untuk kebutuhan mendesak, seperti pendidikan, kesehatan, atau program perlindungan sosial.
Kurangnya sosialisasi memperburuk persepsi masyarakat, seolah-olah kebijakan ini dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi yang kompleks.
Selain itu, demonstrasi ini tidak hanya soal keberatan terhadap kenaikan PPN, tetapi juga cerminan rasa frustrasi yang lebih luas. Dalam banyak kasus, isu fiskal seperti ini sering menjadi pemicu bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap pengelolaan keuangan negara secara keseluruhan.
Ada kekhawatiran bahwa beban pajak ini lebih banyak ditanggung oleh masyarakat kecil, sementara kelompok berpenghasilan tinggi sering kali luput dari kebijakan serupa yang lebih progresif.
Konteks pandemi juga memperkuat resistensi terhadap kebijakan ini. Banyak masyarakat yang masih berjuang untuk memulihkan ekonomi rumah tangga mereka. Di tengah kondisi yang belum stabil, kebijakan fiskal seperti ini dianggap tidak peka terhadap realitas yang dihadapi masyarakat.
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah menjadi salah satu alasan utama mengapa kenaikan PPN ini memicu protes. Masyarakat mempertanyakan apakah kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan mereka, atau hanya akan menambah beban tanpa manfaat nyata yang dirasakan langsung. Ketidakjelasan pengelolaan anggaran sering kali menjadi bahan bakar bagi protes semacam ini.
Demonstrasi yang dipimpin mahasiswa menunjukkan bahwa suara mereka tidak hanya mencerminkan protes ekonomi, tetapi juga perjuangan terhadap rasa keadilan sosial. Dalam hal ini, kebijakan kenaikan PPN menjadi simbol isu yang lebih besar: perlunya perubahan dalam cara pemerintah merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang berdampak luas pada masyarakat.
Pemerintah perlu mengambil pelajaran penting dari resistensi publik ini. Kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN harus disertai dengan strategi komunikasi yang efektif dan langkah mitigasi dampak yang nyata, seperti pemberian subsidi atau bantuan langsung untuk kelompok rentan. Transparansi dalam pengelolaan hasil pajak juga harus diperkuat untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat.