Mohon tunggu...
ikhsan harahap
ikhsan harahap Mohon Tunggu... -

pengamat sosial politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demonstrasi yang Benar bagi Buruh

2 Desember 2014   08:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:16 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang ingin mencapai kesejahteraan, tanpa terkecuali. Kesejahteraan dimaknai sebagai sebuah situasi di mana seseorang merasa terbebas dari segala gangguan atau segala kesulitan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, rakyat dikatakan sejahtera ketika mereka tidak lagi mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan tenang jiwanya. Tanpa adanya kesejahteraan, sesorang akan mengalami kesulitan memenuhi tuntutan perekonomian, akibatnya beban kehidupan akan semakin bertambah.

Diantara segala jenis pekerjaan yang tersedia di Indonesia, salah satu yang paling aktif menyuarakan kesejahteraan adalah kaum buruh. Buruh kerap kali melakukan aksi unjuk rasa menuntut perhatian pemerintah dan swasta untuk meningkatkan kesejahteraan. Tuntutannya pun beragam, mulai dari kenaikan Upah Minimum Regional (UMR), penghapusan sistem kerja kontrak (outsourching), hingga jaminan kesehatan bagi keluarga buruh.

Dalam konteks negara demokratis, aksi unjuk rasa atau yang dikenal dengan demonstrasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demonstrasi adalah pernyataan protes yg dikemukakan secara massal di depan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok.

Dalam kaitannya dengan aksi yang dilakukan oleh kelompok buruh, unjuk rasa selain biasanya dilakukan di depan kantor pemerintah (walikota, gubernur, Istana Presiden, Kementerian) juga dilakukan di depan pabrik tempat buruh tersebut bekerja. Biasanya pada hari tersebut buruh juga melakukan aksi mogok kerja. Hal tersebut sudah menjadi pemandangan yang lumrah bagi para pengusaha, aparat keamanan, maupun masyarakat.

Namun, belakangan buruh sudah mulai meninggalkan aksi unjuk rasa di tempat-tempat tersebut. Kebanyakan dari mereka memilih untuk melakukan aksi di tengah jalan tol dengan menutup tol, seperti yang terjadi pada 26 November lalu dimmana para buruh melakukan demo di Tol Wiyoto Wiyono di ruas Pulomas dan Cempaka Putih. Akibatnya, lalu lintas macet di jalan arteri tepatnya di Jl Ahmad Yani. Kendaraan yang mengarah ke tol Tanjung Priok pun tidak bergerak. Akhirnya pengendara terpaksa keluar di pintu Tol Rawasari yang semula dipakai untuk masuk kendaraan. Tidak hanya di tol, kemacetan juga terjadi di jalan non tol. Kemacetan terjadi di Jl Ahmad Yani mulai dari Apartemen Green Pramuka arah ITC Cempaka Mas.

Sebelumnya, Ribuan buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Berjuang juga menutup akses Jalan Tol Gayamsari, Semarang, menolak Upah Minimum Kota yang telah ditetapkan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Meskipun pada akhirnya aksi penutupan tol tersebut gagal akibat kesiagaan pihak kepolisian, namun penumpukan buruh berdalmpak pada penutupan jalan masuk Tol Gayamsari serta akes jalan menuju Semarang - Purwodadi dan sebaliknya.

Aksi buruh yang menuntut hingga memblokir tol mendapat reaksi dari berbagai masyarakat. Warga masyarakat menilai aksi yang dilakukan oleh buruh ini mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas, karena aktivitas masyarakat menjadi terganggu.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit sangat menyayangkan sikap para buruh yang melakukan aksi pelanggaran ketertiban umum dengan menutup tol. Padahal, buruh punya hak menyampaikan sikapnya dengan melakukan aksi mogok kerja, bukan menutup jalan. Menurut Apindo, aksi tersebut sudah kriminal, dan tak bisa dibenarkan secara ketentuan hubungan industrial karena bukan hanya merugikan pengusaha namun juga masyarakat umum.

Aksi mogok kerja dan unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh memang sangat tepat untuk meminta kenaikan kesejahteraannya, namun perlu diingat bahwa jalan tol tidak memiliki keterkaitan dengan pekerjaan buruh. Tol merupakan jalan yang dibuat untuk kepentingan masyarakat luas, sehingga jika buruh memilih untuk memblokir tol dengan tujuan agar mendapat simpati masyarakat dan permintaannya didengarkan, maka sudah bisa dipastikan cara tersebut merupakan cara yang salah. Masyarakat yang menjadi korban pemblokiran tol bukannya akan merasa iba dengan kaum buruh, bahkan akan menimbulkan sinisme pada kaum buruh karena melanggar ketertiban dan mengganggu hajat hidup orang banyak. Untuk itu, para buruh sebaiknya tetap menggunakan cara-cara yang sopan dalam menyampaikan aspirasinya. Dengan demikian masyarakat pun akan lebih mengharrgai perjuangan kaum buruh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun