Pernahkan anda sesekali tersenyum-senyum sendiri di ruang kamar tidur anda sambil membayangkan sesuatau hal yang paling ingin anda dapatkan dan sesuatu yang ingin anda rasakan benar-benar-benar seoalah tegambar jelas di atap kamar anda? Atau mungkin anda sering berdiri didepan cermin sambil melamun dan seolah melihat ada sebuah kejadian buruk yang terjadi didepan cermin tempat anda duduk?
Benar sekali bahwa tidak bisa dipungkiri setiap orang pasti memiliki keinginan yang kuat dan usaha yang optimal dalam mencapai sebuah pengharapan, keinginan dan juga cita-cita. Hal ini biasanya pada awalnya kerap kali di wujudkan dengan berbagai pengandaian dan khayalan tinggi yang dilakukan sebelum suatu keinginan dan harapan ini benar-benar terjadi, begitu pula dalam mempersepsikan sesuatu yang mungkin belum terjadi dalam diri kita namun sudah lebih dahulu menjadi sebuah ketakutan yang berlebihan yang kemudian menjadi sebuah penghambat dalam melakukan dan mewujudkan keinginan tersebut, namun siapa sangka ternyata didalam berperilku seperti ini mengundang sebuah kebiasaan buruk atau ketidaknormalan (Abnormal) dan menjadi sebuah indikasi gangguan psikotik yang disebut Gangguan Delusi (delusional disorder).
Gangguan delusi adalah suatu jenis psikosis yang dtandai khayalan yang terus ada dan seringkali bersifat paranoid, yang tidak memiliki kualitas yang tidak begitu jelas sebagaimana bentuk yang ditemukan pada skizofrenia paranoid. Diagnosis gangguan delusi diterapkan pada orang yan memiliki keyakinan delusi yang persisten dan jelas, sering kali melibatkan tema-tema paranoid. Gangguan delusi diperkirakan tidak terlalu umum mempengaruhi 5 hingga 10 dari 10,000 orang sepanjang kehidupan mereka (APA, dalam Nevid 2005)
Pada Gangguan delusi, keyakinan delusi menyangkut peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi. Seperti ketidaksesuaian pasangan, penganiayaan oleh orang lain, atau merebut cinta dari orang terkenal. Keyakinan-keyakinan yang secara nyata masuk akal tersebut, mungkin membuat orang lain menganggapnya serius dan memeriksanaya sebelum menyimpulkan bahwa hal-hal tersebut ternyata tidak ditemukan.
Dari paparan konseptual tersebut maka sebagai penganut agama yang “rahmatan lil alamin” yang mengajarkan untuk berperasangka baik (husnudzon) merupakan cara yang paling bijak dalam menanggapi fenomena seperti ini, artinya setiap apapun yang telah terjadi, sedang terjadi maupun yang akan terjadi akan lebih bermakna jika di pupuk dan dikuatkankan oleh pondasi prasangka yang baik.
“Lalu nikmat tuhan mana lagi yang engkau dustai?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H