Cancel culture, fenomena di mana seseorang atau kelompok dikecam secara massal di media sosial hingga karier atau reputasinya hancur bukan lagi hal asing di dunia. Namun, apakah ini benar-benar sudah terjadi di Indonesia? Atau ini hanya sekadar tren yang sesaat muncul lalu menghilang?
Faktanya, kita telah melihat beberapa kasus di mana figur publik, selebritas, hingga kreator terkena gelombang boikot akibat pernyataan atau tindakan yang dianggap bermasalah. Fenomena ini semakin mudah terjadi dengan adanya media sosial, di mana informasi menyebar dalam hitungan detik dan opini publik bisa berubah drastis dalam semalam.
Yang menarik, cancel culture ini sering kali terjadi tanpa ada mekanisme pembuktian yang adil. Dalam banyak kasus, seseorang bisa kehilangan pekerjaan, kesempatan berkarya, bahkan reputasi hanya karena narasi yang berkembang di media sosial, terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut.
Bagi pengkarya, fenomena ini bisa menjadi mimpi buruk. Sebab, ketika seseorang "dihapus" dari industri, karya-karya mereka yang sudah ada maupun yang akan datang bisa ikut terdampak. Apakah adil jika seseorang yang telah bekerja keras membangun karyanya selama bertahun-tahun harus kehilangan segalanya hanya karena satu kesalahan?
Diskursus tentang etika cancel culture menjadi semakin menarik karena setiap orang memiliki standar moral yang berbeda. Apa yang bagi satu kelompok dianggap pelanggaran besar, bisa jadi bagi kelompok lain hanyalah kesalahan kecil yang seharusnya bisa dimaafkan. Lalu, siapa yang berhak menentukan batasan ini?
Di Indonesia, kita sering melihat kasus-kasus viral di mana seseorang dihujat habis-habisan karena pernyataan atau perbuatannya yang dianggap tidak pantas. Namun, apakah ini benar-benar cancel culture, atau hanya sekadar bentuk teguran sosial yang memang sudah lama menjadi bagian dari budaya kita?
Cancel culture dalam bentuk ekstrem bisa berbahaya karena sering kali tidak memberikan ruang bagi seseorang untuk belajar dari kesalahannya. Padahal, dalam banyak kasus, seseorang mungkin tidak bermaksud buruk, tetapi hanya kurang memahami konteks sosial yang lebih luas.
Di sisi lain, ada juga argumen yang menyatakan bahwa cancel culture adalah bentuk pertanggungjawaban. Jika seseorang melakukan kesalahan besar, masyarakat berhak untuk tidak lagi memberikan dukungan kepada mereka. Namun, di mana batas antara pertanggungjawaban dan penghukuman berlebihan?
Fenomena ini bisa semakin kompleks karena media sosial sering kali memperkuat efek cancel culture. Satu kesalahan kecil bisa diperbesar menjadi skandal nasional, terutama jika ada akun-akun besar yang ikut mengangkat isu tersebut dan membentuk opini publik.
Jika cancel culture benar-benar telah terjadi di Indonesia, maka ini adalah peringatan bagi siapa saja, terutama mereka yang berkarya di ruang publik. Apa yang kita katakan atau lakukan hari ini bisa jadi bumerang di masa depan jika tidak hati-hati dalam memilih kata dan tindakan.