Punya keponakan itu seperti punya sekumpulan manusia kecil yang tak terduga. Satu saat mereka menggemaskan, di saat lain mereka bisa membuat kita bertanya-tanya, "Kenapa dia bisa sekreatif itu?" Apalagi kalau keponakannya banyak dan usianya beragam, dijamin tiap ketemu pasti ada cerita baru.
Di keluarga saya, keponakan-keponakan ini ibarat pasukan kecil yang selalu punya kejutan. Ada yang masih balita, ada yang sudah masuk sekolah, dan ada juga yang mulai remaja dengan segala drama kehidupannya. Setiap usia punya tantangan sendiri dalam menghadapi mereka.
Yang kecil biasanya tidak punya filter dalam berbicara. Mereka bisa tiba-tiba nyeletuk hal-hal yang bikin orang dewasa terdiam. Pernah suatu kali, seorang keponakan saya yang masih balita melihat saya bangun kesiangan dan dengan polosnya berkata, "Om, kok kayak orang malas?" Seketika saya merasa hidup ini perlu evaluasi ulang.
Sementara itu, keponakan yang sudah lebih besar punya kejutan yang berbeda. Mereka mulai punya pendapat sendiri tentang berbagai hal dan tidak segan-segan mendebat kita. Pernah, salah satu keponakan saya yang sudah remaja menyuruh saya mencoba filter media sosial yang membuat wajah terlihat aneh. Katanya, "Biar om lebih kekinian." Setelah melihat hasilnya, saya malah merasa lebih seperti karakter kartun gagal.
Hal lain yang menarik dari punya keponakan adalah kreativitas mereka yang luar biasa. Suatu hari, saya kedapatan menerima "hadiah spesial" dari mereka: secarik kertas yang bertuliskan, "Om, jangan lupa traktir kita minggu depan!" Lengkap dengan tanda tangan mereka semua. Ini bukan sekadar permintaan, tapi sudah seperti surat perjanjian.
Mereka juga sering punya ide-ide cemerlang yang terkadang sulit dinalar. Seperti ketika mereka memutuskan untuk membuat "minuman spesial" dari campuran susu, sirup, dan sedikit kecap. Dengan bangga mereka menawarkan, dan dengan penuh keberanian saya menolaknya dengan alasan sedang diet.
Namun, di balik semua kekacauan kecil yang mereka ciptakan, ada momen-momen yang benar-benar menyentuh hati. Pernah suatu kali, setelah saya membelikan salah satu keponakan mainan, dia tiba-tiba berkata, "Om baik banget, aku doain rezekinya lancar." Sepele, tapi rasanya seperti mendapatkan bonus kebahagiaan yang tidak terduga.
Sebagai om, saya mungkin termasuk dalam kategori yang agak memanjakan keponakan. Bukan dalam hal materi, tetapi lebih kepada waktu dan perhatian. Saya senang mendengarkan cerita mereka, meskipun kadang isinya absurd dan tidak masuk akal. Seperti saat keponakan saya yang masih SD bercerita tentang rencana masa depannya yang ingin menjadi penjelajah luar angkasa sekaligus YouTuber gaming.
Saya juga sadar, bahwa di mata mereka, saya bukan sekadar om, tapi juga teman curhat. Yang remaja mulai sering berbagi cerita tentang sekolah, teman, atau bahkan masalah mereka. Saat mereka mulai terbuka, saya merasa ada kepercayaan yang terjalin, dan itu adalah hal yang sangat berharga.
Tapi tentu saja, ada saatnya saya harus tegas. Tidak selamanya saya bisa menjadi om yang membiarkan mereka melakukan apa saja. Kadang, mereka perlu diingatkan tentang batasan dan tanggung jawab. Namun, menariknya, mereka selalu punya cara untuk membalas dengan tingkah laku yang tidak terduga. Pernah, setelah saya menegur salah satu keponakan karena terlalu lama bermain game, dia menulis surat permintaan maaf... yang diakhiri dengan, "Om, tapi besok boleh main lagi, kan?"