Fenomena "guru honorer siluman" belakangan menjadi sorotan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Istilah ini merujuk pada individu yang namanya tercatat sebagai guru honorer aktif dalam sistem, tetapi sebenarnya tidak pernah mengajar di sekolah. Praktik ini dianggap sebagai bentuk manipulasi data yang merugikan, terutama bagi guru honorer sejati yang telah lama mengabdi di sekolah-sekolah tanpa kepastian status kepegawaian. Manipulasi semacam ini sering kali dilakukan untuk memenuhi syarat administrasi seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Modus manipulasi data ini dilakukan dengan cara memperbarui informasi masa mengajar pada sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Dalam beberapa kasus, manipulasi ini tidak dilakukan sendiri oleh individu yang bersangkutan, melainkan melibatkan kolaborasi dengan kepala sekolah dan operator sekolah. Dengan bantuan pihak-pihak tersebut, data palsu dimasukkan ke dalam sistem agar individu yang tidak layak terlihat memenuhi kriteria sebagai guru honorer yang telah lama mengabdi. Praktik seperti ini jelas mencederai integritas dunia pendidikan.
Kisruh ini menciptakan ketidakadilan bagi para guru honorer yang benar-benar telah bekerja keras di lapangan. Guru honorer sejati sering kali menghadapi berbagai tantangan, termasuk gaji yang minim dan status kerja yang tidak menentu, namun mereka tetap mengabdi dengan tulus. Kehadiran "guru honorer siluman" membuat persaingan dalam seleksi PPPK menjadi tidak sehat, karena posisi yang seharusnya diperuntukkan bagi guru yang memenuhi syarat malah diambil oleh individu yang memanfaatkan celah sistem.
Selain itu, fenomena ini menunjukkan lemahnya pengawasan dalam pengelolaan data pendidikan. Sistem Dapodik yang seharusnya menjadi alat untuk memastikan akurasi dan transparansi data justru menjadi sasaran manipulasi. Hal ini mengindikasikan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme input data di Dapodik, termasuk pengawasan ketat terhadap pihak-pihak yang berwenang mengelola data. Tanpa perbaikan sistem, celah ini akan terus dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Di sisi lain, keterlibatan kepala sekolah dan operator sekolah dalam praktik ini menimbulkan pertanyaan besar terkait moralitas dan profesionalisme dalam dunia pendidikan. Sebagai pemimpin institusi pendidikan, kepala sekolah seharusnya menjadi teladan integritas, bukan justru terlibat dalam tindakan manipulatif. Begitu pula dengan operator sekolah, yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga validitas data, tetapi malah menyalahgunakan wewenangnya untuk keuntungan pribadi atau pihak lain.
Untuk mengatasi fenomena ini, pemerintah perlu mengambil langkah tegas. Penguatan pengawasan dan penegakan hukum menjadi kunci untuk menindak oknum yang terbukti melakukan manipulasi data. Selain itu, diperlukan transparansi dalam proses seleksi PPPK agar peluang hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar memenuhi syarat. Penggunaan teknologi seperti verifikasi berbasis biometrik atau data lapangan dapat membantu mengurangi kemungkinan manipulasi data.
Pada akhirnya, fenomena "guru honorer siluman" ini menjadi cerminan dari berbagai masalah yang masih membelit sistem pendidikan di Indonesia. Penyelesaian masalah ini tidak hanya membutuhkan reformasi sistem, tetapi juga perubahan budaya integritas di kalangan pelaku pendidikan. Hanya dengan begitu, dunia pendidikan dapat kembali menjadi ruang yang adil, bermartabat, dan mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI