Ketimpangan dalam standar pendidikan antara perkotaan dan pedesaan masih menjadi masalah yang mencolok di banyak negara, termasuk Indonesia. Di kota-kota besar, siswa menikmati akses terhadap fasilitas modern, guru berkualitas, dan materi ajar yang mutakhir. Sebaliknya, di daerah pedesaan, pendidikan sering kali terhambat oleh keterbatasan sumber daya yang membuat siswa tertinggal dalam berbagai aspek.
Kualitas guru menjadi salah satu perbedaan utama. Di perkotaan, banyak guru memiliki kualifikasi yang lebih tinggi dan sering mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kompetensi. Di pedesaan, distribusi tenaga pengajar berkualitas belum merata. Banyak guru di pedesaan bekerja dengan minimnya pelatihan, bahkan harus mengajar di luar bidang keahlian mereka.
Materi ajar juga menunjukkan ketimpangan yang signifikan. Sekolah di perkotaan umumnya memiliki akses ke buku pelajaran terbaru, modul digital, dan materi pembelajaran tambahan. Sebaliknya, sekolah di pedesaan sering kali hanya memiliki buku-buku yang sudah usang dan terbatas jumlahnya, sehingga siswa tidak mendapatkan informasi yang relevan dan terkini.
Sarana-prasarana menjadi faktor yang paling mencolok. Sekolah di kota memiliki fasilitas lengkap seperti laboratorium sains, perpustakaan, dan akses internet yang memadai. Di pedesaan, banyak sekolah masih kekurangan ruang kelas, meja, kursi, bahkan akses air bersih dan listrik. Hal ini membuat proses belajar mengajar menjadi kurang optimal.
Ketimpangan ini juga diperkuat oleh dukungan teknologi yang sangat terbatas di pedesaan. Di era digital seperti saat ini, akses internet telah menjadi kebutuhan pokok dalam pendidikan. Namun, di pedesaan, banyak siswa dan guru tidak memiliki perangkat yang memadai atau koneksi internet yang stabil untuk mengakses sumber belajar online.
Faktor ekonomi juga memengaruhi kualitas pendidikan. Banyak keluarga di pedesaan tidak mampu membeli perlengkapan sekolah atau mendukung pendidikan anak mereka lebih lanjut. Akibatnya, angka putus sekolah di pedesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di perkotaan.
Selain itu, kurikulum yang diterapkan di sekolah pedesaan sering kali tidak sepenuhnya relevan dengan kebutuhan lokal. Pendidikan vokasional yang dapat mendukung kehidupan masyarakat desa masih kurang diperhatikan, sehingga siswa sulit menerapkan ilmu yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap daerah pedesaan. Meskipun ada program bantuan, implementasinya sering kali tidak merata atau tidak sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Hal ini membuat masyarakat desa merasa terpinggirkan dalam sistem pendidikan nasional.
Ketimpangan standar pendidikan ini tidak hanya berdampak pada siswa, tetapi juga pada pembangunan nasional secara keseluruhan. Generasi muda di pedesaan yang kurang mendapatkan pendidikan berkualitas akan sulit bersaing di pasar kerja dan berkontribusi dalam pembangunan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan di pedesaan. Dengan pemerataan pendidikan, kesenjangan ini dapat diminimalkan, sehingga semua anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk meraih masa depan yang lebih baik.