Mohon tunggu...
Ikhsan Bawa
Ikhsan Bawa Mohon Tunggu... -

Seorang karyawan Toko Buku\r\nFollow Twitt: @Ikhsan_Bawa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia Makhluk “Merepotkan” dan “Direpotkan”

21 Februari 2014   23:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia tidaklah seutuhnya makhluk sosial yang sering digembor-gemborkan oleh kebanyakan orang, sebagaimana semut dan lebah. Kenapa demikian? Karena tidak jarang manusia menghancurkan bangunan masyarakat dan peradaban tanpa berpikir panjang tentang segala akibatnya yang kumuh dan destruktif, degradasi itulah yang menyebabkan manusia melenceng dari fitrah kesosialannya, sehingga manusia dianggap bukan lagi sebagai zoon piliticon. Manusia tidak hanya bisa menghancurkan atau membuat keributan kecil, sebesar bentuk kekacuan itu manusia mampu membuatnya, bahkan tidak menutup kemungkinan dirinya sendiri, keluarga, tetangga dihancurkannya (disakiti dan dizalimi), kadang-kadanga terjadi hanya karena sebab sepele, yang sebenarnya tidak perlu untuk diperpanjang.

Di kampung-kampung, misalnya, karena persoalan air sawah, patokan batas tanah yang kurang jelas, ternak masuk pekarangan tetangga, suara radio yang keras, anak yang berkelahi, cemburu sosial, iri hati, dan yang sejenis itu, bisa melahirkan kegaduhan yang kasar dan keras. Tidak sekedar gaduh, bisa berakhir dengan perkelahian dan pertumpahan darah. Contoh lain yang lebih konkret, masalah warisan yang ditinggalkan orang tua ketika sudah meninggal, permasalahan itu juga bisa menyulut pertentangan yang sengit diantara kakak-beradik kandung. Sehingga permusuhan pun terjadi. Apalagi sekarang ini, jika kita lihat kasus-kasus di TV yang sering ditayangkan diberita, mungkin berita mengenai keributan, kekisruhan, dan perpecahan menduduki angka paling banyak. Jadi ditarik kesimpulan singkat, sebenarnya manusia yang berlabel sebagai makhluk sosial tidaklah berjalan, dan tidak sesuai. Maka dari itu, sangat percuma kalau manusia dicap sebagai makhluk sosial, jika tindakan-tindakan diluar batas normal terus terjadi. Prinsipnya, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan fitrah kita, maka bisa dianggap gugur. Karena tidak mengikuti aturan main.

Dalam kasus seperti ini, manusia bukan lagi makhluk sosial yang mampu melihat masalah secara jernih dan baik sambil menemukan cara penyelesaian yang adil dan arif. Tetapi, tidak aneh—begitulah manusia makhluk yang penuh misteri dan horor. Kelakuannya sering susah ditebak dan diantisipasi. Kalau sudah berkata “iya” maka akan “iya” dan kalau sudah berkata “tidak” maka akan “tidak”, namun terkadang terbalik “iya” jadi “tidak” dan “tidak” jadi “iya”. Pergaduhan seperti di atas tidak berlaku dalam kebiasaan lebah dan semut, padahal ia adalah hanya makhluk ciptaan Allah yang sederhana tetapi memiliki solidaritas dan soliditas yang tinggi, lantas kenapa manusia yang sudah kumplit perangkatnya, suka sekali melenceng dari kodratnya. semestinya manusia kembali ke stampel awalnya sebagai makhluk yang “merepotkan” dan “direptkan”.

Sekalipun manusia tidak jarang menderita karena peperangan, bencana alam, pemerintah yang zalim, dan perkelahian antar suku, sebegitu jauh belum ada bukti bahwa manusia ingin berubah menjadi semut atau lebah yang hidup dalam iklim peradaban yang sangat sederhana, tapi damai. Dengan demikian, opsi kearifan yang terbentang di depan manusia adalah agar egoisme dan kepentingan individu jangan sampai meluluhlantahkan perumahan sosial yang sungguh sukar membangunnya. Atmosfer ketegangan antara kecenderungan sosial dan individualistik akan terus langgeng dalam peradaban manusia.

Seharusnya sebagai manusia kita harus menyadari ada sebuah hubungan timbal balik antara diri dengan sekitar (mutualisme), dimana mereka saling menopang satu sama lain, agar penambahan nilai pada keseluruhannya—khususnya dalam penentuan identitas diri terus bergelora, akhirnya kita dapat memahami diri, menemukan identitas yang jelas, siapa ”aku”?, dan buat apa ”aku” menjadi manusia? sehingga tuduhan bahwa, ”aku” bukanlah ”aku” bisa terhapus, karena ”aku” tetaplah ”aku” bukan orang lain. Sebagai manusia (aktor kehidupan), seharusnya manusia mampu untuk mengintervensi segala bentuk apapun yang menjadi tembok penghalangnya agar dapat menjadi Subjek dan Objek kehidupan. Kesadaran diri harus terus dipupuk, sejatinya satu langkah manusia adalah langkah orang lain, yang mana dalam hukum agama sudah dijelaskan secara gamblang, apa yang didaptkan oleh manusia berupa rijki maka di dalamnya ada hak orang lain, hak tersebut wajib hukumnya kita berikan. Sebagai penyucian diri kita. Dengan demikian, memang betul sistem gotong roryong dalam hidup adalah mati harganya. Kita jangan hanya ingin merepotkan tapi tidak mau direpotkan.

Jika ditarik sedikit gambaran, telah jelas disebutkan bahwasanya, pusat dunia adalah manusia, yang membentuk dunia adalah manusia, dan yang menikmati hasilnya adalah manusia. Pendeknya, dari manusia, untuk manusia. Jadi tidak ada kerugian sedikit pun ketika manusia mampu memahami dirinya sebagai makhluk yang berkerabat. Tetapi sifat perusak manusia yang melekat, membuat kehancuran paham kedirian manusia, merobohkan semua benih-benih keyakinan akhlak yang ia tanam, dan sehingga meluluhlantahkan semua bangunan peradaban yang ada. Karena rangsangan kerusakan jika terus menggelora akan merambat lalu menyatu ke manusia-manusia lainnya. Karena diawali dari dis-nilai maka dengan sendirinya akan mencapai dis-integrasi. Lantas bagaimana seharusnya?

Dalam pandangan manusia sebagai makhluk yang merepotkan dan direpotkan selalu dijelaskan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa sesamanya. Hal ini memang benar. Sayangnya, dalam keseluruhan model penyifatan sesama ini selalu merujuk pada sesama manusia. padahal dalam kerangka eksistensi manusia secara keseluruhan, makna sesama itu seharunya dipandang secara lebih luas yaitu kelompok binatang, kelompok tumbuhan, dan kelompok makhluk-makhluk hidup lainnya yang berada di alam jagat raya ini. Bahkan manusia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa unsur-unsur tersebut. Ciri dan sifat merupakan bentuk dari perpaduan bentuk-bentuk makhluk hidup lainnya. Namun di dalam diri manusia beberapa unsur itu menjadi satu kesatuan akhirnya membentuk wujud dan sifat yang luhur dan sempurna. Saling berinteraksi secara indah dan kompleks membentuk satu individu yang dimahkotai dengan akal budi yang tentu saja tidak bisa disamakan begitu saja dengan unsur-unsur pembentuknya. Manusia mempunyai naluri seks, tetapi seks manusia tidak sama maknanya dengan seks binatang, itu semua karena adanya dorongan akal yang kuat. Binatang berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesamanya tetapi hanya secara buta tanpa makna yang jelas, karena hanya terjadi melalui naluri yang telah tetap, atau sesuai kodrat yang sudah absolut, tidak ada perubahan dan perkembangan yang berarti. Sebagai bukti dari dulu sampai sekarang laba-laba membuat jaringnya selalu indah, tetapi dari dulu hingga kini, laba-laba akan membuat jaringnya dengan cara dan metode yang sama. Sedangkan manusia dari zaman ke zaman terus bergeser, manusia terus berevolusi melalui kediriannya. Namun kadangkala diri terombang-ambing oleh arus perubahan budaya yang semakin tak karuan. Akhirnya, benteng kesosialan manusia menjadi hancur.

Dengan demikian, seharusnya ada kecenderungan yang baik dalam diri manusia. Karena sejatinya fitrah manusia adalah baik dan membaikan orang lain. Mungkin faktor-faktor luar dirinya saja yang mengotori semua sendi positif manusia. Maka dari itu, control diri dan kesadaran sosial adalah harga mati yang harus terus ditanamkan pada eksistensi setiap manusia, agar manusia mampu memilih dan memilah menjadi apa dirinya, dan berlaku seperti apa dirinya.

Ahmad Syafii Ma’arif dalam pengantarnya, “Membangun Spiritualitas Peradaban”. Lih. Jusuf Sutanto, “Spiritual Wisdom” (Bandung: Hikmah, 2006) hlm. ix

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun