Mohon tunggu...
Ikhlas Tawazun
Ikhlas Tawazun Mohon Tunggu... Freelancer - instagram/twitter: @tawazunikhlas

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia 2018

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pelemahan KPK, Pertaruhan Institusi Politik Indonesia

13 September 2019   11:54 Diperbarui: 15 September 2019   10:06 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama ini, banyak orang yang menganggap berbagai usaha pelemahan KPK sebagai masalah pemberantasan korupsi semata. Anggapan tersebut tidaklah salah, tetapi penulis berargumen bahwa terdapat konteks yang lebih luas dari berbagai usaha pelemahan KPK. Konteks tersebut terkait dengan kondisi institusi politik Indonesia secara keseluruhan.

Sepanjang sejarah berdirinya, KPK telah berkali-kali menerima usaha pelemahan. Dari tataran legislasi saja, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya delapan manuver yang dilakukan DPR untuk melemahkan kinerja KPK (Tempo 2017): (1) Penolakan anggaran gedung baru KPK pada 2008, (2) Mendorong wacana pembubaran KPK karena dianggap tidak maksimal dalam menangani korupsi, (3) Mendorong wacana KPK sebagai lembaga adhoc, (4) Revisi undang-undang KPK sejak 2011, (5) Intervensi anggota DPR dalam proses penyidikan dan penuntutan, (6) Menyandera proses seleksi calon pimpinan KPK di DPR, (7) Pengajuan keberatan terhadap proses pencegahan pimpinan DPR, dan (8) Pengajuan Hak Angket.

Daftar panjang tersebut belum ditambah dengan penyerangan secara fisik dan kriminalisasi terhadap pimpinan, penyidik, dan pegawai KPK. Masih menurut catatan ICW (Kompas 2019), terdapat 91 kasus kriminalisasi dan serangan secara fisik terhadap KPK dan pegiat antikorupsi lainnya. Tercatat dari 91 kasus tersebut, terdapat 7 serangan kepada penyidik KPK dan 8 serangan terhadap komisioner KPK. Diantara kasus yang paling terkenal adalah penyiraman terhadap Novel Baswedan, pelemparan molotov ke rumah pimpinan KPK, dan penganiayaan pegawai KPK saat memantau rapat APBD Provinsi Papua.

Kini, daftar tersebut masih bertambah panjang dengan seleksi Calon Pimpinan (Capim) KPK yang bermasalah dan revisi UU KPK. Proses pemilihan Capim KPK sejak awal telah bermasalah karena tidak transparan dalam penunjukan anggota Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK. Walhasil, Pansel menghasilkan 10 nama Capim KPK yang masih diisi beberapa nama bermasalah. Setelah itu, Kamis (5/9) lalu DPR tiba-tiba mengadakan sidang yang membahas revisi UU KPK. Seakan sudah terdapat kesepakatan sebelumnya, kesepuluh fraksi di DPR menyetujui dengan suara bulat revisi UU KPK hanya dalam waktu 20 menit saja. Keheranan publik terhadap sidang super singkat tersebut baru terjawab saat ditemukan 10 poin yang melemahkan KPK sebagai lembaga antirasuah yang independen dalam revisi UU KPK tersebut.

Sementara kebanyakan orang memahami kejadian ini sebagai kombinasi usaha pelemahan KPK, penulis berargumen bahwa konteks dari kejadian ini jauh lebih besar. Dalam krisis ini, inklusifitas institusi politik Indonesia sedang dipertaruhkan. Institusi politik yang dimaksud disini mengacu kepada istilah yang digunakan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya "Why Nations Fail". Menurut Acemoglu dan Robinson (2012), institusi politik dan ekonomi suatu negara adalah faktor penentu utama keberhasilan negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Institusi politik dan ekonomi yang inklusif akan meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Terma "inklusif" disini memiliki arti partisipasi dan kontrol yang baik dari rakyat luas. Sementara itu, institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif hanya akan menyengsarakan rakyat. Terma "ekstraktif" disini memiliki arti partisipasi dan kontrol yang hanya dimiliki segelintir orang.

Negara yang maju memiliki institusi politik yang inklusif, sebut saja Amerika Serikat (AS). Ketika AS dilanda great depression, Presiden Franklin D. Roosevelt (FDR) berusaha mengatasinya dengan paket kebijakan yang dikenal sebagai New Deal. Sayangnya, beberapa bagian dari New Deal dijegal oleh Supreme Court AS karena dianggap inkonstitusional, beberapa hanya kalah tipis 5:4 suara. Akhirnya, FDR memutuskan untuk mencoba "menyuntikkan darah segar ke lembaga peradilan kita". FDR kemudian mengirimkan draf RUU ke Kongres yang menurunkan usia pensiun hakim-hakim agung, agar dia bisa menunjuk hakim agung baru. Diluar dugaan FDR, meski Senate dan House of Representatives dikuasai oleh Demokrat, voting terbuka menolak mentah-mentah draf RUU tersebut dengan 70:20 suara. Alasan utama Kongres menolak ususlan FDR tersebut adalah semua RUU yang berusaha membonsai lembaga peradilan AS harus ditolak. Perlindungan tanpa kecuali terhadap institusi politik tersebut membuat lembaga peradilan di AS tetap kuat. Bahkan sampai hari ini, tidak ada presiden yang mampu menggoyang independensi lembaga peradilan AS (Acemoglu and Robinson 2012).

Sementara itu, banyak negara terbelakang memiliki masalah institusi ekstraktif seperti Argentina pada abad 20-an. Mahkamah Agung di Argentina merupakan lembaga yang dapat menjadi tonggak inklusifitas disana. Kemudian hal yang sama seperti di AS terjadi di Argentina, bedanya, kali ini berhasil. Pada 1946, Juan Dominingo Pern memenangi Pemilu Argentina. Di awal masa jabatannya, Presiden Pern dan pendukungnya di Chambers of Deputies (Majelis Rendah) mengusulkan pemakzulan terhadap empat dari lima hakim agung karena telah membiarkan dua rezim militer berkuasa secara inkostitusional. Alasan tersebut sebenarnya lucu, sebab Pern sendiri terlibat dalam salah satu rezim militer tersebut. Meski begitu, setelah sembilan bulan berjalan, mereka berhasil memakzulkan tiga hakim agung, satu lagi telah mengundurkan diri terlebih dahulu. Pern lalu menunjuk sendiri empat hakim agung baru. Dengan Mahkamah Agung didalam kantongnya, Pern bebas memenjarakan lawan politik dan mengukuhkan institusi politik ekstraktif di Argentina. Bahkan, preseden tersebut akhirnya membentuk kebiasaan bagi presiden-presiden selanjutnya untuk menunjuk hakim agung sesuka hatinya (Acemoglu and Robinson 2012).

Apa yang sekarang terjadi di Indonesia memiliki kemiripan dengan peristiwa-peristiwa sejarah diatas. Usaha pelemahan KPK saat ini sangat mungkin menjadi titik penting dalam sejarah Indonesia. KPK yang selama ini telah menjadi tonggak inklusifitas institusi politik dengan menangkap koruptor dan melakukan berbagai upaya antikorupsi sedang ditantang. Beberapa pihak mengusulkan RUU yang membonsai KPK dan berusaha menggolkan orang pilihannya sebagai Pimpinan KPK. Nasib institusi politik Indonesia sedang dipertaruhkan. Jika usaha tersebut berhasil digagalkan, maka besar kemungkinan institusi politik Indonesia akan terus berproses menjadi semakin inklusif. Namun jika tidak, maka masa depan Indonesia akan berada dalam bahaya cengkeraman oligarki yang akan mengubah institusi politik Indonesia menjadi semakin ekstraktif.

Hari ini (13/9) DPR sudah resmi memilih Irjen (Pol) Firli, salah satu nama paling bermasalah, sebagai Ketua KPK yang baru. Firli bisa sampai terpilih karena DPR dan Presiden telah berkonspirasi untuk kepentingan mereka sendiri. Kontrol praktis tidak ada. Setelah ini, sangat dimungkinkan terjadi pelemahan institusi lebih lanjut, mengubah institusi menjadi semakin ekstraktif, sesuai dengan kepentingan penguasa. DPR dan Presiden bebas berkolaborasi mengesahkan revisi UU KPK, RKUHP, dan melemahkan institusi politik dan ekonomi Indonesia.

Akankah situasi ini terus berlanjut? Mari berharap dan berusaha demi menjaga inklusifitas institusi politik Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun