di Terminal Pasar Hanyar, kala itu
aku menunggumu di antara gemuruh kaki lima
tawar-menawar harga
jalanan sesak
dan gedung-gedung yang tak bernyali
udara lebih panas dari biasanya
matahari seperti tak bersahabat
gerombolan awan begitu cepat berlaluan
menyeret tubuh teduhnya
dan debu-debu bertebaran
tak kenal arah
aku berdiri menyilangkan kaki
dengan sebatang rokok yang belum tersulut api
sesekali aku membuka gawai
dan mulai berpikir keras
mencari kata-kata apa yang akan kukirimkan untukmu
tapi berkali-kali aku menghapusnya
tempat parkir masih terlalu ramai
tapi saat kamu keluar dari kerumunan itu
aku selalu bisa mengenalimu
seperti biasa, aku akan melambaikan tangan
sebagai penanda angkotku masih butuh penumpang
dan memang akan selalu ada kursi kosong;
jika itu untukmu
tapi kamu melambai ke arah yang berlainan
seseorang keluar dari mobilnya, menghampirimu
kamu seperti malu-malu untuk tersenyum
tangan kanannya membawa barang belanjaan
dan tangan kirinya memetik jemarimu
di Terminal Pasar Hanyar
langit mendadak hujan bara
dan aku terbakar di bawahnya
lalu mobil itu melaju
dan sesaat kemudian menghilang
ditelan pekat jalanan
Satui, Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H