Pada hari ketika aku menemukanmu. Kau menjadi tempat ternyaman yang pernah aku rasakan. Bunga-bunga bermekaran di tubuh puisiku yang karam akan harapan. Tanpa pernah  mencatat hal-hal kelam yang kerap melintang di garis kesejarahan.
Kita banyak menjarah waktu tidur. Sampai-sampai kita melantur membincangkan bagaimana mengatur masa depan yang belum ada. Seperti nama anak pertama, makanan favorit yang akan kau masak, atau halaman yang berantakan ketika tiba musim gugur. Alih-alih membahas bagaimana kenyataan membuat kita terbentur.
Pada hari ketika aku menemukanmu. Kau juga menjadi sesuatu yang jauh, yang tak pernah mampu kujangkau. Embun-embun terbakar menyengketakan pagi. Sedang matahari terlalu dini untuk membangunkanku dari peluk mimpi-mimpi.
Kita memang sama-sama menjadi selalu ada dari ketiadaan dan ketidakberdayaan kita. Barang sekadar memastikan bahwa masing-masing kita sedang baik-baik saja. Meski kau tahu, kita hanya berpura-pura.
Angsana, 10 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H