Sepotong gelisah terbungkus rapi di persimpangan waktu. Memberangkatkan diaspora anak-anak rindu berlabuh menggagas temu. Untuk meminang doa pada tahajjud pertama di bulan yang masih muda.
Lalu, rinai hujan liris mengiringi partitur jiwa yang lirih mengalun. Membasahi resah yang kugelar di sehamparan sajadah. Menyatu bersama monolog rindu yang membincangkan dirimu di titik terendah dalam sujudku.
Kau tahu, ketika sabit itu telah hilang ditelan fajar. Dan subuh mulai keroncongan didera lapar. Aku masih menyebut namamu di penantian paling sabar. Menitipkan harap pada matahari yang membawa arunika paling berbinar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H