Sesuatu yang janggal telah terjadi pada Rania. Anak tersayang kami itu, entah kenapa kini ia lebih sering menangis. Padahal, menangis tak memberikan kelegaan apapun. Sehingga aku dan suami memutuskan untuk berhenti meneteskan benda cair bodoh itu lagi.
Dahulu memang, menangis adalah andalan kami ketika usus-usus dalam perut mengeriput. Begitu juga ketika tangan telanjang kami gemetar menadah belas kasihan orang-orang yang berlalu lalang.
Lama-kelamaan, kami merasa tak ada untungnya mengeluarkan air mata. Sebab tak ada yang berubah, kecuali perut yang semakin perih dan tangan yang semakin kehilangan tenaga. Namun, apa yang terjadi setelahnya? Tak ada yang lain selain kembali menangis sejadi-jadinya.
Begitu seterusnya, sampai anak tersayang kami, Rania, lahir tanpa rengek tangis ataupun air mata. Ia terlihat bahagia, tapi kami malah terperanjat dalam kesedihan dengan rasa bersalah yang mendalam. Hingga tak ada malam yang terlewati tanpa tangisan.
Pada malam kedelapan setelah Rania kulahirkan. Kami akhirnya memutuskan untuk mengucapkan selamat tinggal pada air mata selamanya. Menyusul Rania dengan racun tikus yang kami tenggak bersama-sama.
"Aku sudah tenang, tapi kalian membuatku sedih." Rania menangis, mengawang-awang di atas sana.
Kami sempat kebingungan dengan apa yang dikatakan Rania. Namun beberapa saat kemudian, akhirnya kami mengerti dan kau tahu, apa yang kami lakukan setelahnya? Ya, tak ada yang lain selain menangis tanpa jeda dalam penyesalan dan siksa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI