Padamu, aku ingin berteduh di balik rimbun dan sendunya kedua matamu. Mendirikan tenda, lalu berleha-leha sambil bercerita tentang kita yang pernah menjadi seasing entah. Betapa dulu, aku adalah orang yang paling keras memapah arah untuk tak sedikit pun memandangi saujanamu.
Sebab, kau terlalu memesona untuk diriku yang hina.
Mataku, hanyalah pancangan bilah dari ketidakberanianku untuk berharap lebih dari apa yang aku mampu. Apakah pantas aku memilikmu? Sedang keadaanku tak sepadan dengan istimewanya dirimu. Bahkan tak ada yang bisa kau banggakan dariku.
Namun, semua itu telah menjadi seusang kisah. Dari sekelumit kecemasan yang membirah di pelepah waktu. Bahwa kini rasionalku tak bekerja dengan baik. Sebab namamu, telah menjelma ruh di setiap pembuluh darahku, erat mendekap harap padamu.
Jadi, maafkanlah aku jika telah lancang mencintaimu.
Maka, izinkan aku untuk sedikit membincangkan sketsa mimpi di meja amigdalaku. Tentang selaut asa yang tak kenal surut dilanda keraguan dan seranting rencana untuk mengarungi hidup di masa depan. Bahwa kau adalah tujuanku untuk menambatkan segala rindu. Di mana kita akan menjadi sepasang kasih, dari kisah yang tak akan kembali menjelma seusang debu.
Angsana, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H