Masih di pusaran waktu, di tanah rantau berdebu. Aku menggamit beragam origami mimpi, yang tak kunjung selesai menyisis sesibir sepi. Tentang episode lepas, rindu yang terpapas. Oleh riak-riak cemburu yang seakan tanpa batas.
Kalut berserak, hasrat-hasrat melayak. Pada mata-mata bercuka yang melapisi tubuh gigil di tengah bayangan fatamorgana. Bergelut dengan repihan luka dan dinginnya embusan renjana. Tanpa pernah memahami cara terbaik untuk bermetamorfosa.
Di pusara rindu, di tanah merah berabu. Aku masih bergelut dengan rintik-rintik kenangan yang tersemai. Nyenyak di hamparan sunyi membidai. Tempat di mana malam telah mengelus sisa-sisa kantukku. Tanpa pernah ia tahu. Apa sebenarnya yang diinginkan rindu?
Lalu, aku terhanyut, larut pada hal-hal pahit yang mengoyak mimpi. Tentang makna cinta dan benci. Hingga, tak ada lagi sasana pagi, yang mengajariku bagaimana mengejar setiap pergeseran matahari. Sebab, kantukku terlampau limpas, mendekap setiap tetesan embun yang bingkas. Dari pulasnya berbagai rasa yang tak berbalas.
Angsana, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H