setelah malam menggilas aspal jalanan
lantas nyanyian waktu senyap
lesap mencecap sunyi
tanpa aba-aba
atau koar-koar kaki lima
aku justru menghitung detik-detik yang menitik
pada keramaian sasana amigdalaku
yang tak pernah sunyi
akan keganjilan-keganjilan yang entah apa?
haruskah kusebut rindu?
selepas senja yang bisu
kini udara dingin lebih sering menyelusup
ke dalam tebal jaketku
menggerayangi pori-pori
hingga ke dalam lapisan kulit ari
padahal,
langit baru saja meracik gemintang
sebagai kolase perpisahan
dari sebuah gurauan anak-anak siang
tapi mengapa spektrum ingatan terus saja merinaikan hujan
pada sekat masa yang merentangkan jarak kita?
selayaknya pohon-pohon yang lahir prematur
aku gigil diterpa badai
tersadai di hamparan julang bayangmu
yang tak pernah pergi dalam kenang ingatan
kau tahu?
sebelum matahari kembali menggenapi
dalam sebuah perjumpaan
aku masih lah serupa titik kecil yang ganjil
di samudera keentahan
sekali lagi,
aku tak tahu harus kusebut apa?
mungkinkah ini memang benar-benar rindu?
entahlah ....
Angsana, 08 Desember 2019