Di bangku taman, diterangi sisa-sisa retakan rembulan. Untuk kesekian kalinya, kita berkencan. Sepotong jagung bakar dan secangkir kopi, sudah cukup untuk menemani kita berbincang dan bersikap masa bodoh pada orang-orang yang mengaku sedang memadu kasih itu berlalu-lalang.
Kenangan, meski kau menyebalkan, aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu. Jadi, tak perlu tergesa-gesa untuk membuat simpulan. Apalagi sampai melempar sajak-sajak satire bertabur rima atau pantun ejekan. Bahwa semua yang terjadi padaku adalah kegagalan. Simpan saja itu untuk nanti. Bahkan kau boleh membunuhku setelah ini.
Namun, saat ini, duduklah yang manis. Biarkan aku bercerita dan mendiskusikan tentang bagaimana sebaiknya merawat penyesalan, menerjemahkan luka, serta menyoal hal-hal yang pernah dan hampir terjadi lainnya.
Izinkan aku memulainya dengan bercerita. Tentang sejumlah luka yang sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya. Tepat di mana jantung berdetak, nadi berdenyut, darah mengalir, bahkan di setiap aliran napas. Ya lihatlah, lukanya membalur di sekujur raga.
Kau tahu, apa yang lebih menyakitkan? ya, penyesalan. Menyesali hati yang singgah di tempat yang salah. Menyesali jatuh cinta yang patah. Menyesali waktu yang sia-sia, karena telah dihabiskan oleh harap yang terlalu percaya pada orang-orang yang menjanjikan setia.
Meski menyakitkan, menurutku cara paling elegan adalah merawat penyesalan selama mungkin. Agar menjadi sebuah pengalaman dan tentu saja menjadi pelajaran bagiku. Bahwa aku harus lebih berhati-hati lagi dalam menjatuhkan hati. Bahwa aku harus memantaskan diri pada orang-orang yang nyata menaruh hati. Bahwa aku harus siap patah hati lagi, jika ternyata kembali salah dalam memilih hati.
Sekali lagi, kau tak perlu tergesa-gesa untuk meminta maaf atas nama siapa pun, karena aku telah memaafkan semuanya. Justru aku ingin berterima kasih, telah menghadiahi cenderamata yang begitu nyata, luka. Sebab bersahabat dengan luka ternyata tidak terlalu buruk. Sungguh.
Aku ingin berterima kasih, karena telah menjadi pernah yang menyenangkan meski akhirnya menyakitkan. Aku ingin berterima kasih, karena telah menjadi ada dalam rencana kita di suatu saat meski akhirnya hanya menjadi sesaat. Aku ingin berterima kasih, karena telah menjadi hampir yang hadir dan mampir meski akhirnya di tengah jalan, cinta harus berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H