Ketika malam telah menanam kelam pada dinding keheningan. Seorang perempuan gegas berlari menuju panggung pertunjukkan. Menarikan sepi yang telah sudi membangkaikan hati dalam kesendirian. Di mana rindu tetap saja sibuk berprasangka. Bahwa semesta tak akan pernah menjadikannya bahagia. Di mana sepi tetap saja berkuasa atas segala rasa yang ada. Bahwa harapan dan penantian tak akan pernah menjadi nyata. Dan hanya akan membuatnya semakin hampa.
Meski gemintang malam berusaha menghiburnya tanpa henti, dan gemuruh angin berhasil meluruhkan jelaga yang kerap menyelimuti. Ia masih saja bergeming membiarkan sayatan luka tanpa terjahit sama sekali.
Perempuan itu berkata, "Mari bertepuk tangan atas pencapaian terhebatku ini, bahwa hati terbiar mati, tanpa ada seorang pun yang peduli."
"Tidak! Kau hanya menutup diri dari beragam rasa empati. Belajarlah peduli pada orang-orang yang mencoba peduli. Tikam hatimu dengan belati harapan dan asa yang membunuh ilusi-ilusi dari mimpi buruk yang selalu menghantui. Lalu, makamkan atribut penyesalan dari apa-apa yang kau sebut sepi," kataku, seorang narator yang tiba-tiba mengaku sebagai aku.
Luruhlah dandanan luka yang membedaki perempuan itu. Lalu, matilah ia dalam ketidakjelasan akhir yang terinterupsi oleh waktu dan aku.
***
Ya, aku tak pernah sudi membiarkan ego sendiri merusak panggung penaku. Berakhir menjadi narasi-narasi pilu yang menggamit serapah maupun rutuk-rutuk bisu. Pada aku sebagai dalangnya dari semua skenarioku.
Sebab, aku adalah pelaku utama, yang tak begitu tega melimpahkan rasa sakit pada segenap aktor yang bahkan kuciptakan sendiri di kepala. Terkadang, setiap sketsa-sketsa yang kutuliskan adalah kebenaran dari apa-apa yang kualami dalam dunia nyata.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H