Ketika matahari mulai merangkak di kaki pagi. Aku kembali mengingatmu, sebagai satu-satunya mimpi yang ingin kuulang lagi. Bukan seperti mimpi-mimpi tanggung yang sengaja disudahi oleh desir angin malam, riuh gelombang, atau perasaan ingin kencing yang tak tertahankan.
Ketika matahari telah terpancang di singgasananya. Aku membicarakan matamu yang selalu terpancar indah di terik renjana. Bukan seperti mata-mata sayu yang kehilangan kesegaran, kosong menatap kehampaan, atau mata munafik yang selalu dipenuhi kotoran.
Lalu, tepat setelah senja meninggalkan lahan dan tetabuhan hari nyenyak ditimang kesunyian. Aku melukiskan wajahmu di antara bintang-bintang, menceritakan senyummu di kenangan yang tak pernah hilang, atau sekadar mengedipkan mata genit padamu yang selalu membayang dalam ingatan.
Kau tahu? Di sepanjang waktu, bahkan di setiap detiknya. Hanya ada dirimu yang masih menjadi satu-satunya rindu.
Angsana, 17 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H