Sudah terlalu lama aku tak lagi mendengar kisah-kisah tentang hujan. Tentang gemericik yang menari-nari di pelataran, tentang bau basah tanah yang menyegarkan, atau tentang legenda Dewi Sri yang menjaga tanaman padi para petani.
Kucoba meretas sesuatu yang pelik di kepala. Mengorek-mengorek gerangan apa yang hendak disampaikan oleh cuaca. Mengapa ia lupa menyemai gerimis, padahal langit sudah dijajari awan mendung berbaris?
Sedangkan bumi, ya kau tahu, tanah kita telah kering kerontang, ladang-ladang gersang terpanggang, menyisakan jerebu yang bertebaran, kabut asap tebal yang menyesakkan dan mengaburkan pandangan. Kita meradang.
Hari ini, lagi-lagi mendung pagi hanya membuahi harapan yang sia-sia. Ketika matahari telah memancang di atas singgasananya. Mendung hanya melenggang berlalu-lalang menertawai kita yang semakin sesak, menghirup kepulan asap yang merajalela.
Apakah kita akan mati, bersama pohon-pohon yang kehilangan kebijaksanaan? Atau tetap hidup dalam sengsara, di mana kesadaran hanya sebatas wacana dan perih air mata tetap menjadi primadona dari produk keangkuhan orang-orang di atas sana?
Barangkali, sebagian kita mungkin rela menampilkan senyum yang telah diseduh air mata. Bahwa kita sedang dalam keadaan baik-baik saja. Namun, bukan saatnya untuk berpura-pura. Kabut asap ini, jangan sampai terulang kembali. Rawat alam, jaga hutan dan lahan dari orang-orang yang hanya mementingkan kekayaan. Jangan biarkan anak-anak kita, generasi penerus kita kehilangan masa depan. Hanya karena kita tak peduli dengan alam.
Hujan cepatlah datang, babat habis asap di permukaan, dinginkan bumi dan kita yang semakin meradang. Hingga gemericik kembali menari-nari di pelataran. Mengisahkan anak-anak yang riang bermain di bawah hujan.
Angsana, 16 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H