Ada sejengkal kasih yang belum terbaca oleh cuaca. Di antara kabut kerinduan, potretnya mengebiri lantunan angin. Dengan sengaja, senyuman itu diraih oleh pagi.Â
Gersang tetap gersang, hati itu kembali ke masa pancaroba. Di mana spektrum kenangan berkelebat menyiksa. Memainkan embun bening menjelma anak sungai. Turun, turunlah hingga ke rongga terdalam, palung jiwa yang di setiap sudutnya terpahat diorama cinta.
Tak bisa dipungkiri. Kita sudah sama-sama lelah, karena telah menggembala anak-anak rindu sejak berbulan-bulan lalu. Bergelayut, menimang harap yang digantung dalam pendulum waktu. Namun, menyianyiakan deraian hanya tersepai dalam kehampaan adalah kelemahan.
Kita adalah sepasang mimpi yang nyeyak di hamparan malam. Di mana tak ada sungkan untuk menyapa ulasan demi ulasan. Tentang seranting harap yang diam-diam kita dekap. Tentang sebias angan yang malu-malu kita telan. Juga tentang berseminya doa-doa yang kita semai di lelangit malam.
Kita, kau dan aku adalah kita yang belum terbasuh oleh nyata. Namun, malam tak pernah bosan untuk menelan partikel dari doa-doa. Semoga raudah cinta itu benar-benar ada untuk kita singgahi. Sebagai akhir dari masa pancaroba yang telah kita lewati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H