Terlalu petang untuk merajut mimpi-mimpi. Bahkan kantuk pun belum dititahkan oleh matahari. Seorang perempuan terlihat sangat kelelahan. Setelah seharian menggembala anak-anak rindu dan menimang asa yang digantungkan di ujung jarum pendulum waktu.
Meski lelah kian mendera, perempuan itu tak hendak menyerah kalah. Ia masih tegap melangkah. Memapah basah air mata yang terbit di terik renjana. Lalu, air mata itu dijadikannya tinta untuk melukis seulas kenangan di atas kanvas senja yang tak lagi merah merona.
Saat senja benar-benar tenggelam dalam hening. Perempuan itu gegas memunguti jejak-jejak resah yang kian geming. Membawa pulang segala gundah. Merebahkannya di sehamparan pengaduan. Tempat di mana menanak air mata menjadi doa. Merajut mimpi menjadi nyata. Tempat segala harap ia dekap, segala luka ia sekap. Dan segala rasa ia bisikkan kepada Tuhannya.
Angsana, 08 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H