Setelah lampu kamar dimatikan. Xander menyeringai sambil memetik beberapa sepi yang berjuntai menyala di langit-langit. Kemudian meletakkannya ke dalam sebuah pelita yang ia sebut kenangan, sebagai penerang untuk mencari sebuah kehilangan di dalam kepalanya.
Terakhir kali Xander pernah meringkuk kecewa, karena yang ia temui hanyalah sebuah kepergian dari setengah akalnya. Di lain waktu ia pernah melihat jasadnya sendiri, tergeletak penuh luka yang masih menganga dan berdarah-darah.
Xander berharap menemukan sesuatu yang berbeda dalam perjalanan kali ini. Jinjit demi jinjit  ia telusuri lorong kecewa di tubir renjana. Di tengah jalan, ia melihat pemandangan yang membosankan. Tak begitu jelas apa yang tampak, hanya kabut sejauh mata memandang. Sehingga membuat ia berpikir ulang untuk menamainya pemandangan.
Berjalan di antara kabut-kabut aneh itu membuat nyawa Xander terancam kantuk yang hebat. Namun ia langsung meminum kopi yang telah disepahkan senja dan masih tersisa di kantong sakunya.
Perjalanan tiba-tiba terhenti. Buntu, tidak ada jalan yang bisa dilewati. Lalu, lagi-lagi Xander melihat jasadnya sendiri yang  kali ini telah lebam membiru.
Xander bergegas menghampiri jasadnya. Rupanya ia telah sangat kelaparan. "Ah, apalah arti sebuah luka, jika aku bisa menikmatinya?"
Xander kembali berpikir, ternyata luka tak seburuk yang ia kira, rasanya tidak begitu pahit. Sungguh.
***
Kini, Xander benar-benar lupa apa yang ingin ia cari sebelumnya dan malah asik berleha-leha di dalam kepalanya sendiri. Setengah akal yang tersisa, juga dirinya telah hilang menemui kepergian dan luka pun termaafkan.
Angsana, 04 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H