Ada sesak yang mengganjal. Sengal terlampau bebal. Ketika hanya sesaat kau memberikan bahagia. Lalu kau campakkan aku dengan semena-mena. Meninggalkan luka yang tak terkira. Menyisakan cabikan-cabikan perih dalam rintih. Mengaduk pahit dalam secangkir rasa sakit. Mematikan hati dalam penjara sepi.
Resah dan gelisah tak bosan-bosannya menemani. Menepi di sudut hati. Kemudian berlarian menanam segenggam angan di pelataran kenangan. Merawatnya dengan sepenuh harap yang kutahu tak mungkin terjawab. Bahwa kau nyata telah melepaskan dekap. Hingga hujan kembali membasahi pipi sang malam. Sebagai upaya tersadar dari temaram yang semakin kelam.
Lalu, Â kau datang kembali secara tiba-tiba. Membawa kabar bahagia yang kumaknai sebagai ucapan belasungkawa. Kau sematkan aksara maaf paling basi dalam undangan resepsi. Yang kutahu, itu tak akan mampu menyibakkan benci dalam hati. Bukannya aku tak mau memberikan maaf. Namun kau telah angkuh memamerkan cincin pengikat. Tanda bahwa tali pikat seseorang telah tertambat.
Pergilah, tanpa memalingkan wajah. Tanpa kata dan air mata. Sebab, seperti pagi yang tak pernah bisa menjadi senja. Empati darimu tak lagi berarti apa-apa. Tak akan bisa mengubah kenyataan, bahwa kau telah berdua dalam ikatan keseriusan.
Kini, biarkan kutenggelamkan rasa dalam genangan kenangan. Memakamkan luka pada dinding lupa. Memeluk asa pada masa depan yang nyata. Bahwa bahagia akan datang pada waktunya. Karena kutahu, seiring berjalannya waktu, semua akan menjadi masa lalu.
Angsana, 29 Mei 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI