Sejak kemarin, kita masih duduk di bangku keheningan.
Memeluk biji-biji cemas yang tumbuh liar di kepala kita.
Berakar pada jalar-jalar yang mematikan logika.
Aku tahu, merindu adalah jantung dari segala kesakitan yang menyetubuhi raga.
Namun, debit aksara memaku diri pada nisan-nisan kebisuan.
Tanpa sedecit abjad pun keluar darinya.
Padahal, sepersekian detik lalu, kau telah menyediakan waktu untuk memakamkan bisu.
Melempar umpan untuk menangkap upah dari rindu yang masing-masing kita garap dan rawat.
Namun, aku masih saja gagal, tak bisa fasih menjeda gagap paling pengap ini.
Aku tak akan menyerah begitu saja.
Berpasrah pada saraf yang telah nyaman bersandar di bahu kediaman itu adalah kedunguan.
Ini tak bisa dibiarkan!
Kau tahu, kita sama-sama lelah, karena sedari kemarin kita belum istirahat merebahkan penat.
Kau sibuk menunggu ucap dariku dan aku sibuk memantapkan kesiapan diri yang berantakan ini
Saat gerbang malam mulai terbuka.
Menenggelamkan upaya senja untuk tetap bertengger di mata kita.
Kucoba kembali mengacak-acak isi kepala.Â
Mencari dan menyusun keping-keping keberanian yang sempat membuka pintu putus asa.
Berharap kali ini aku akan berhasil meruntuhkan bangku keheningan.
Padamu, juga khalayak semesta kubacakan maklumat kerinduan.
Lalu, menyerahkan mandat hati yang selama ini tertawan kekosongan.
Angsana, 13 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H