Pernah suatu ketika aku terkapar di selarik puisi. Tentang tajamnya belati aksara yang menyayat leher-leher keheningan. Saat rintih sunyi tak lagi berkompromi, yang gegas menggagap kesendirian.
Sejenak kepingan dirimu kabur dari pelataran hati. Saat riuh sorak-sorai pesta rakyat kemarin sore membisingkan penginderaan. Namun saat pesta berlalu, pusaran masa lalu dan dirimu kembali menggenapi meja-meja rindu.
Pagi ini, kucoba samarkan keruh air mata yang tak karuan melerai riak-riak cinta. Menjadikannya satu dari bagian got-got semesta. Tapi nyatanya, itu tak mampu mengalihkan harap yang telah mengakar kuat.
Semestinya aku mengerti. Bahwa aku tak mungkin bisa lari dan bersembunyi dari kejaran bayangan dirimu, perempuan yang terlahir dari rahim mimpi-mimpi, yang memantik degap tiap detiknya. Menjadi kobaran asmara yang tak kuketahui bagaimana cara memadamkannya.
Sekarang, hatiku tak lagi dikerubungi semut-semut keraguan. Kembali merentangkan sayap-sayap asaku yang selalu mengarah menuju ubun-ubunmu. Kembali pada aliran takdir yang membuahi anak-anak kehendak untuk tetap seirama dengan degap kagumku padamu.
Saat matahari mulai beranjak menuju arah barat. Kutuliskan sebait sajak tentang pernyataan damai serta maklumat rindu pada dirimu, perempuan penghuni belantara hatiku. Kemudian, membacanya pada cakrawala senja yang memancar binar wajahmu.
Angsana, 27 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H