Mohon tunggu...
Ikhfa Fahranni
Ikhfa Fahranni Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Psikologi

Saya seorang mahasiswa aktif di sebuah universitas di kota padang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perceraian Orangtua: Implikasi Perceraian Orangtua pada Kesejahteraan Emosional Anak

16 Januari 2024   11:53 Diperbarui: 16 Januari 2024   11:58 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Perceraian, sebagai fenomena sosial yang semakin menguat di tengah masyarakat modern, membawa dampak yang signifikan terhadap kehidupan keluarga dan khususnya pada perkembangan anak-anak. 

Laporan Statistik Indonesia 2023 mencatat bahwa pada tahun 2022, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334, mencatat peningkatan sebesar 15% dari tahun sebelumnya yang mencapai 447.743 kasus, menunjukkan bahwa tantangan dalam keberlangsungan hubungan pernikahan semakin kompleks (Goodstats). Angka yang terus meningkat ini mencerminkan dinamika hubungan pernikahan di era kontemporer yang seringkali dipenuhi oleh berbagai tekanan dan perubahan dalam pola hidup. 

Penting untuk diakui bahwa implikasi dari perceraian tidak hanya dirasakan oleh pasangan yang bercerai, tetapi juga secara mendalam mempengaruhi kesejahteraan emosional anak-anak yang terlibat dalam proses ini. Anak-anak menjadi pihak yang rentan dan mungkin menghadapi tantangan emosional yang kompleks karena perubahan dramatis dalam dinamika keluarga mereka. 

Proses perceraian seringkali memicu perasaan kehilangan, kebingungan, dan kecemasan pada anak-anak, yang berusaha mencari pemahaman terhadap perubahan signifikan dalam kehidupan mereka. Dalam konteks ini, fokus utama dari eksplorasi essay ini adalah memahami dengan lebih mendalam bagaimana perceraian orang tua dapat memberikan dampak pada aspek emosional anak. Perlu diperhatikan bahwa dampak tersebut dapat bervariasi tergantung pada usia anak, kualitas hubungan orang tua sebelum perceraian, dan dukungan sosial yang tersedia untuk mereka. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki strategi pendekatan yang efektif dalam mengelola kesejahteraan emosional anak yang terlibat dalam situasi perceraian orang tua.

Dalam tahun 2022, faktor penyebab utama perceraian di Indonesia teridentifikasi sebagai perselisihan dan pertengkaran, dengan jumlah mencapai 284.169 kasus atau setara dengan 63,41% dari total faktor penyebab kasus perceraian. Perselisihan ini mencerminkan kompleksitas dinamika hubungan keluarga yang seringkali menjadi landasan dari konflik yang tak teratasi, menyebabkan keguguran dalam ikatan pernikahan. Faktor ini menjadi penanda utama bahwa ketidaksepakatan dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi pemicu utama perceraian, mengekspresikan betapa pentingnya pengelolaan konflik dalam suatu pernikahan. 

Selain perselisihan, faktor-faktor penyebab perceraian lainnya juga menarik perhatian. Permasalahan ekonomi muncul sebagai alasan yang signifikan, menandakan bagaimana tekanan keuangan dapat menjadi sumber konflik yang mengakar. Penyebab lainnya termasuk situasi di mana salah satu pihak memilih untuk meninggalkan pasangannya, poligami, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Keberagaman penyebab ini mencerminkan dinamika kompleks dalam hubungan pernikahan, melibatkan berbagai faktor yang mencakup aspek emosional, ekonomi, dan sosial.

Perceraian orang tua melampaui sekadar perpisahan secara formal; ia menciptakan gejolak dalam inti kehidupan keluarga yang melibatkan aspek-emosi, hukum, ekonomi, dan sosial. Proses perpisahan ini membawa dampak yang mendalam, mencakup perpisahan emosional yang termanifestasi dalam dinamika hubungan yang berubah secara drastis, perpisahan ikatan pernikahan secara hukum yang meresmikan pemisahan formal, hingga perpisahan secara ekonomi atau finansial yang merubah arus keuangan keluarga. 

Selain itu, perceraian juga menandai perpisahan sebagai orang tua utuh, di mana peran dan tanggung jawab sebagai figur orang tua mengalami transformasi substansial. Perpisahan keluarga tidak hanya mempengaruhi lingkup rumah tangga, tetapi juga menciptakan perpisahan sebagai bagian dari komunitas yang selama ini turut berperan dalam membentuk identitas keluarga. Bahkan, dalam upaya menghindari pertemuan dengan pihak yang berkonflik, terdapat perpisahan secara fisik, menciptakan jarak yang lebih luas di antara anggota keluarga yang pernah bersatu. Dengan adanya perubahan-perubahan mendalam ini, pihak-pihak yang terlibat seringkali dihadapkan pada tingkat stres yang signifikan. Stres ini tidak hanya bersifat ekonomis atau finansial, tetapi juga melibatkan dimensi psikologis, terutama pada anak-anak yang berusia remaja. Dalam konteks psikologis, perceraian orang tua menyiratkan kehilangan fungsi dan peran orang tua sebagai manajer dalam keluarga, yang sebelumnya menjadi penentu stabil dalam kehidupan anak-anak. Hilangnya teman yang membantu dalam pengambilan keputusan serta kehilangan faktor penentu dalam pembangunan identitas diri anak dapat menjadi tantangan psikologis yang kompleks.

Perceraian, sebagai peristiwa hidup yang kompleks, memberikan dampak yang mendalam pada kehidupan anak-anak yang terlibat. Sementara mayoritas anak cenderung menyalahkan orang tua sebagai sumber rasa sakit yang muncul akibat perpisahan keluarga, terdapat dimensi emosional yang lebih dalam dan kompleks yang memerlukan pemahaman yang mendalam. 

Penelitian menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, anak-anak tidak hanya menyalahkan orang tua, tetapi juga merasa diri mereka sendiri sebagai bagian dari penyebab perceraian. Fenomena ini membuka pintu wawasan ke dalam kompleksitas psikologis anak yang berhadapan dengan realitas perpecahan orang tua. 

Dalam menganalisis fenomena ini, peran kualitas hubungan keluarga sebelum perceraian menjadi faktor kunci yang memengaruhi cara anak menanggapi situasi tersebut. Keberadaan kebahagiaan dan kestabilan sebelum perceraian mungkin menciptakan ikatan emosional yang kuat antara anak-anak dan keluarga mereka. Oleh karena itu, perpisahan orang tua bisa menjadi pukulan emosional yang lebih berat karena mengguncang fondasi yang sudah dibangun. Di sisi lain, dalam rumah tangga yang penuh dengan ketidakharmonisan, anak-anak mungkin melihat perceraian sebagai solusi dari konflik yang berkepanjangan antara orang tua, bahkan mungkin sebagai peluang untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Leslie memberikan pemahaman mendalam tentang kompleksitas dampak perceraian pada anak-anak, yang dihubungkan secara signifikan dengan kualitas hubungan dalam keluarga sebelumnya. Jika anak-anak merasakan kebahagiaan, kehangatan, dan keharmonisan dalam kehidupan rumah sebelum terjadinya perceraian, dampak emosional yang terjadi cenderung menjadi lebih mendalam. Kehilangan tidak hanya pada tingkat fisik, tetapi juga pada tingkat emosional dan psikologis dapat menciptakan kerumitan yang melibatkan perasaan kehilangan identitas, keamanan, dan koneksi yang telah mereka kenal. Dalam konteks ini, ketidakpastian yang muncul dari perceraian menciptakan kekosongan yang sulit diisi bagi anak-anak, yang mungkin merasakan kehilangan tidak hanya pada aspek keberlangsungan keluarga tetapi juga pada pemahaman mereka tentang cinta dan kestabilan. 

Di sisi lain, jika keluarga sebelumnya dipenuhi oleh ketidakbahagiaan dan konflik berkepanjangan, perceraian bisa dianggap sebagai jalan keluar yang diperlukan. Anak-anak mungkin melihat pemisahan orang tua sebagai peluang untuk menghindari ketidakpastian dan tekanan konflik yang terus menerus. Dalam pandangan mereka, pemisahan bisa dianggap sebagai kesempatan untuk mengembangkan lingkungan yang lebih sehat dan damai. Oleh karena itu, pemahaman akan kualitas hubungan sebelumnya menjadi landasan yang kritis untuk memberikan dukungan yang sesuai terhadap anak-anak yang terlibat dalam peristiwa perceraian.

Perceraian, sebagai tahapan hidup yang mendalam, tak hanya menciptakan ketidakstabilan dalam dinamika keluarga, namun juga berdampak serius pada kondisi emosional anak selama masa perkembangannya. Dalam konteks ini, perilaku anak-anak pasca-perceraian seringkali menjadi indikator nyata dari beban emosional yang mereka alami. Tidak jarang, anak-anak menunjukkan perilaku-perilaku yang mencolok, mulai dari agresivitas dan kecenderungan untuk berkelahi hingga perilaku yang lebih pasif seperti menjadi pendiam atau sulit bergaul. Mengapa perilaku ini muncul sebenarnya lebih dari sekadar gejala, namun merupakan manifestasi dari perubahan dramatis yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya untuk memahami bahwa perilaku-perilaku tersebut bukanlah karakteristik tetap dari anak-anak pasca-perceraian, melainkan respons terhadap perubahan signifikan dalam dinamika keluarga mereka. Terdapat faktor-faktor penyebab yang perlu dicermati lebih lanjut. Beberapa anak mungkin mengekspresikan agresivitas sebagai cara untuk menanggapi ketidakpastian dan kebingungan yang muncul seiring perceraian. 

Di sisi lain, ada pula anak-anak yang memilih untuk menarik diri, menjadi lebih pendiam atau kesulitan bergaul, sebagai bentuk internalisasi dari perubahan yang tidak mereka inginkan. Sejalan dengan hal tersebut, dapat dipahami bahwa anak-anak yang menjadi korban perceraian juga menghadapi tantangan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama seperti sebelumnya. 

Perceraian menciptakan kekosongan dalam interaksi emosional dan dukungan yang mungkin sebelumnya mereka nikmati dari kedua orang tua. Perubahan ini, terutama dalam aspek kesejahteraan emosional anak, mendorong perlunya dukungan dan pemahaman yang mendalam dari lingkungan sekitar. Melihat ini, pendekatan holistik yang mencakup dukungan emosional, konseling keluarga, dan pendekatan psikologis menjadi semakin penting. Memahami bahwa perilaku anak-anak pasca-perceraian adalah reaksi terhadap perubahan lingkungan mereka membantu membuka jalan untuk penanganan yang efektif. Memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan perasaan mereka, menanggapi pertanyaan mereka, dan menciptakan lingkungan yang stabil dan penuh kepedulian adalah langkah-langkah penting dalam membantu anak-anak mengatasi dampak perceraian dan memulihkan kesejahteraan emosional mereka.

Dalam dinamika kompleks pasca-perceraian, anak-anak kerap kali terjebak dalam situasi emosional yang rumit, terutama saat mereka menghadapi kesulitan dalam menerima keberadaan orangtua yang membawa pasangan baru ke dalam kehidupannya. Situasi ini menjadi lebih menantang, terutama ketika sang ayah memperkenalkan perempuan lain yang bukan ibu kandung anak-anak. Dalam kondisi seperti ini, dampaknya nyata dalam ketidaknyamanan yang dialami anak-anak saat berkomunikasi dengan ayahnya, menciptakan kesenjangan emosional yang membutuhkan perhatian khusus. Dalam rangka merespon kompleksitas ini, peran dan tanggung jawab sang ibu menjadi sangat krusial. Sang ibu bukan hanya harus memahami perasaan dan ketidaknyamanan anak-anak, tetapi juga harus mengelola waktu dan dinamika komunikasi di antara mantan pasangan tersebut. Sang ibu perlu menjalankan perannya dengan bijaksana, membantu anak-anak merasa aman dan didukung ketika berkomunikasi dengan sang ayah. Ini melibatkan pengaturan waktu yang baik untuk memfasilitasi pertemuan dan interaksi yang positif antara anak-anak dan ayah mereka. Dengan melibatkan sang ibu secara bijaksana dalam proses komunikasi pasca-perceraian bukan hanya membantu menciptakan ruang yang kondusif bagi pertemuan keluarga, tetapi juga memungkinkan anak-anak tetap merasakan kehadiran dan kasih sayang dari kedua orangtua mereka, meskipun dalam konteks kehidupan yang berubah setelah perceraian. Kesadaran dan tindakan bijak dalam hal ini dapat meminimalkan dampak negatif pada kesejahteraan emosional anak-anak, menciptakan fondasi yang lebih stabil untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka di tengah perubahan yang berat pasca-perceraian.

Dalam sebuah penelitian mengenai dampak perceraian orang tua terhadap anak, analisis perkembangan sosial menjadi semakin krusial. Menurut Jahja (2011:215), Temuan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami perceraian orang tua cenderung menunjukkan pola perkembangan sosial yang tidak menguntungkan. Dampak konflik keluarga dengan jelas tercermin dalam dinamika kegiatan bermain di sekolah, di mana pertengkaran dengan teman menjadi kejadian yang sering terjadi. 

Perasaan ketidakstabilan di rumah tampaknya menciptakan ketidakstabilan yang serupa dalam interaksi sosial anak di lingkungan sekolah. Lebih lanjut, adanya perilaku pendiam saat kegiatan istirahat dan kecenderungan untuk memilih duduk sendirian menunjukkan tanda-tanda nyata dampak emosional yang mendalam pada anak-anak pasca-perceraian. Keterbatasan dalam berinteraksi sosial dan kemampuan membangun hubungan yang sehat tercermin dalam jumlah teman yang terbatas, bahkan dengan kecenderungan memilih-pilih teman dalam berkegiatan di sekolah. Jahja (2011:215) juga menyoroti bahwa perceraian tidak hanya mengakibatkan ketidakstabilan emosional tetapi juga dapat memberikan dampak signifikan pada kemampuan anak untuk bersosialisasi dan membangun relasi positif. Tak hanya itu, temuan juga mencerminkan bahwa anak-anak pasca-perceraian mungkin menghadapi pengasingan dalam kelompok sosial mereka. 

Jahja (2011:215) menekankan bahwa anak-anak yang merasa ditolak atau diabaikan oleh teman-teman sebaya dapat mengalami kesulitan dalam belajar bersifat sosial, suatu aspek penting dalam perkembangan pribadi mereka. Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap dinamika kompleks ini menjadi dasar yang sangat penting dalam merancang strategi dan memberikan dukungan yang efektif, untuk memitigasi dampak negatif yang dapat muncul dalam perkembangan sosial anak-anak pasca-perceraian.

Kesimpulannya, saya meyakini bahwa fenomena perceraian menjadi semakin kompleks di masyarakat modern, terutama dengan tren peningkatan angka perceraian di Indonesia. Implikasi dari perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan yang bercerai, tetapi juga secara mendalam memengaruhi kesejahteraan emosional anak-anak yang terlibat dalam proses ini. Saya berpendapat bahwa dampak ini tidak hanya mencakup perubahan emosional, hukum, ekonomi, dan sosial dalam kehidupan keluarga, tetapi juga menciptakan gejolak dalam kehidupan anak-anak. Melihat realitas ini, anak-anak seringkali menunjukkan perilaku-perilaku mencolok, mulai dari agresivitas hingga menjadi pendiam atau sulit bergaul. Saya yakin bahwa faktor penyebab perceraian, terutama perselisihan dan pertengkaran, mencerminkan kompleksitas dinamika hubungan keluarga yang dapat memperburuk situasi. Kualitas hubungan dalam keluarga sebelum perceraian juga menjadi kunci dalam memahami dampak emosional anak, di mana kebahagiaan sebelumnya dapat membuat dampak emosional lebih berat. 

Penelitian Leslie yang menyatakan bahwa trauma anak karena perceraian berkaitan dengan kebahagiaan dalam kehidupan rumah sebelumnya, menegaskan pandangan saya mengenai pentingnya kualitas hubungan sebelum perceraian. Kehilangan identitas, keamanan, dan koneksi yang dialami anak-anak merupakan tantangan psikologis yang kompleks, dan pemahaman mendalam terhadap hubungan sebelumnya menjadi landasan penting dalam memberikan dukungan yang sesuai. 

Dalam konteks perkembangan sosial, saya meyakini bahwa anak-anak pasca-perceraian menghadapi kesulitan dalam berinteraksi, mencakup isolasi sosial dan kesulitan dalam belajar bersifat sosial. 

Pernyataan Jahja (2011:215) yang menyoroti bahwa anak-anak yang merasa ditolak oleh teman-teman sebaya menghadapi kesulitan yang signifikan, memperkuat argumen bahwa perceraian dapat memengaruhi dinamika sosial anak-anak. Lebih lanjut, saya meyakini bahwa menerima keberadaan orangtua yang membawa pasangan baru menjadi tantangan bagi anak-anak pasca-perceraian. Peran sang ibu dalam mengelola komunikasi antara anak-anak dan ayah mereka menjadi krusial, dan pendekatan bijaksana dapat membantu anak-anak merasa aman dan didukung dalam berkomunikasi. 

Dengan pemahaman mendalam terhadap kompleksitas dampak perceraian, saya percaya bahwa pendekatan holistik yang mencakup dukungan emosional, konseling keluarga, dan pemahaman psikologis menjadi kunci untuk membantu anak-anak mengatasi dampak negatif dan memulihkan kesejahteraan emosional mereka. Memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan perasaan mereka dan menciptakan lingkungan yang stabil dan penuh kepedulian adalah langkah-langkah penting dalam membimbing mereka melalui perubahan yang berat pasca-perceraian.

DAFTAR PUSTAKA

 

Amanullah, A. S. R., & Kharisma, D. K. (2022). Perkembangan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Emosi Anak dan Remaja. ALMURTAJA: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 1(2), 42-48.

Dewi, I., & Syalvida, R. (2022). Karakteristik Emosional Anak Usia Dini Korban Perceraian Desa Pangkalan Lampam Oki. SNHRP, 337-348.

Demo, D. H., & Acock, A. C. (1988). The impact of divorce on children. Journal of Marriage and the Family, 619-648.

D'Onofrio, B., & Emery, R. (2019). Parental divorce or separation and children's mental health. World Psychiatry, 18(1), 100.

Fauzi, A. (2021). Hakikat Perceraian (Sebuah tinjauan filosofis terhadap makna perceraian). Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, 6(1), 55-62.

Hamid, H. (2018). Perceraian dan Penanganannya. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 4(3), 24-29.

Hartini, N. (2019). Complete family and teenager's well-being. Journal of Advanced Research in Dynamical and Control Systems, 11(5 Special Issue), 1302-1307.

Haryanie, S. W., Filiani, R., & Hanim, W. (2013). Dampak perceraian orang tua terhadap emosi anak (Studi kasus pada dua anak yang memiliki orang tua yang bercerai di SDN Gembong I kab. Tangerang). Insight: Jurnal Bimbingan Konseling, 2(1), 100-106.

Hasanah, U. (2020). Pengaruh perceraian orangtua bagi psikologis anak. Agenda: Jurnal Analisis Gender dan Agama, 2(1), 18-24.

Khairunnisa, A., Lubis, A., Tanjung, D. H., Fattiah, N., & Zainuddin, Z. (2021). Dampak dari Perceraian Orang Tua terhadap Perkembangan Emosi Anak. Al-Mursyid: Jurnal Ikatan Alumni Bimbingan dan Konseling Islam (IKABKI), 3(1).

Kusumawati, M. D. (2020). Dampak perceraian orang tua terhadap kondisi emosi anak usia 6-12 tahun. Jurnal edukasi nonformal, 1(1), 61-69.

Manna, N. S., Doriza, S., & Oktaviani, M. (2021). Cerai gugat: Telaah penyebab perceraian pada keluarga di Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora, 6(1), 11-21.

Miralles, P., Godoy, C., & Hidalgo, M. D. (2023). Long-term emotional consequences of parental alienation exposure in children of divorced parents: A systematic review. Current Psychology, 42(14), 12055-12069.

Ramadhani, P. E., & Krisnani, H. (2019). Analisis dampak perceraian orang tua terhadap anak remaja. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 2(1), 109-119.

Van Dijk, R., Van Der Valk, I. E., Dekovi, M., & Branje, S. (2020). A meta-analysis on interparental conflict, parenting, and child adjustment in divorced families: Examining mediation using meta-analytic structural equation models. Clinical Psychology Review, 79, 101861.

Widiastuti, R. Y. (2015). Dampak perceraian pada perkembangan sosial dan emosional anak usia 5-6 tahun. Jurnal PG-PAUD Trunojoyo: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Anak Usia Dini, 2(2), 76-86.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun