Mohon tunggu...
Ikfad Kurnia
Ikfad Kurnia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemukiman Kumuh Salah Penduduknya atau Pemerintahnya ?

16 Desember 2016   20:22 Diperbarui: 17 Desember 2016   02:10 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks dunia perencanaan, banyak masalah dalam suatu kota besar, apalagi yang menyandang sebagai kota metropolitan kedua di Indonesia, yaitu Surabaya. Kota yang dalam sehari hari sering dipanggil kota pahlawan. Dalam menyandang kota metropolitan kedua, surabaya pastinya tidak asing dengan istilah kepadatan penduduk dan pemukiman kumuh. Kepadatan penduduk sendiri adalah perbandingan dari jumlah penduduk dengan luas wilayah. Sedangkan pemukiman kumuh adalah suatu kawasan pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Pemukiman kumuh sendiri biasanya terjadi di daerah bantaran rel kereta, bawah jembatan, dan sungai.

Banyak latar belakang kenapa masyarakat menitik tempatkan rumahnya di daerah bantaran seperti itu, baik dari segi ekonomi, efektifitas, dan efisiensi. Hal ini dapat dilihat dari bukti di lapangan yaitu pemukiman kumuh di bantaran rel kereta api wilayah ketintang dan wonokromo. Pemukiman ini sudah ada sejak sekitar 20 tahun yang lalu. Dalam kawasan yang kumuh pasti ada permasalahan yang sangat berkaitan satu sama yang lain, sama halnya dengan kawasan kumuh di bantaran rel kereta di ketintang dan wonokromo sehingga memunculkan satu kesimpulan yang menjawab pertanyaan mengapa mereka bermukim disini ?

            Dalam survey yang bertujuan untuk menguatkan artikel ini, saya dapat melihat sendiri kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah kumuh tersebut. Mereka sangat ramah ketika saya memulai mewawancari mereka, terkesan seperti kami berdiskusi. Mayoritas dari mereka merupakan seorang perantau dari desa, rata rata dari mereka lulusan SD – SMP dengan mayoritas usia rata rata 30 tahun tapi tidak dipungkiri banyak juga usia sekolah dan usia tua yang bermukim di dearah ini. Kerjaan mereka rata rata kuli bangunan, tukang pengepul sampah dan tukang becak, rumah mereka hampir semua semi permanen, hampir semua tidak memiliki keterampilan khusus, dan yang terakhir mereka memiliki gaji sekitar 1 juta tiap bulannya. Perkembangan jumlah penduduk di daerah inipun bisa terbilang mengalami grafik yang meningkat, hampir setiap tahun ada penduduk yang masuk dan menetap di daerah ini. Hal ini semakin membuat daerah ini semakin padat dan makin kumuh karena tidak adanya tatanan dan arahan dari pihak yang berwenang. Dari pernyataan pernyataan diatas bahwa aspek kehidupan sangat berkaitan, seperti pendidikan yang rendah akan kalah bersaing di dunia kerja apalagi di kota besar macam Surabaya sehingga mereka bisa tergolong pas pasan dan serabutan, dengan bekerja serabutan ini gaji yang dapat juga bisa digolongkan gaji yang rendah.  Dengan gaji yang mereka terima ini mereka gunakan untuk menyewa tanah yang pada dasarnya penggunaan lahannya bukan untuk lahan pemukiman warga. 

            Ditambah dengan persepsi mereka dengan pindah ke kota besar mereka dapat bekerja dengan layak dari pada tinggal di desa, padahal itu merupakan sebuah perjudian. Selain itu masalah kependudukan juga menjadi problem di daerah ini, seperti penambahan penduduk yang terus meningkat yang otomatis dengan bertambahnya jumlah rumah yang akan membuat semakin kumuh dan tingkat kesehatan masyarakat yang belum terlalu baik.  Padahal jika kita melihat hal ini malah menambah masalah di kawasan perkotaan, baik dari keindahan kota itu sendiri dan keselamatan masyarakatnya. Tentunya hal ini juga berkebalikan dengan predikat kota Surabaya sebagai kota percontohan dalam mengatasi wilayah kumuh di Indonesia.

            Dengan adanya masalah pasti ada solusi yang ditawarkan, banyak kebijakan pemerintah untuk mengatasi akan hal ini, seperti penggusuran dan relokasi rumah susun. Namuh banyak yang kontra dengan kebijakan itu. Pada daerah ini juga ada yang kontra pada upaya relokasi terutama dari penduduk yang usia lanjut, dengan alasan yang berakenaragam seperti tidak mau repot harus naik turun jika di rusun dan merasa nyaman sudah tinggal daerah kumuh tersebut.  Mungkin ada cara satu lagi dalam mengatasi akan hal ini, dan efeknya tidak bisa langsung dirasakan ditahun kebijakan ini disahkan. Pemerintah harus bersinergritas dengan pemerintah daerah dan instansi yang terkait. Pemerintah daerah harus sering melakukan sosoialisasi tentang perbandingan kesulitan hidup di kota dengan di desa, selain itu juga pemerintah daerah harus memiliki program pelatihan atau kursus yang mampu mengangkat ekonomi mereka yang diiringi dengan dibangun dan dibukanya lapangan pekerjaan baru di daerah tersebut, sehingga ketika program pelatihan itu selesei mereka dapat langsung diperkejakan di lapangan kerja yang baru tadi. Lain halnya dengan instansi yang terkait harus memilik kebijakan yang adil dan tegas, seperti pihak PJKA yang sebetulnya harus menolak sewa menyewa lahan di kanan kiri jalur kerata api lalu adanya pengontrolan transmigrasi penduduk terutama ke kota kota besar sehingga bisa diminimilasir berkembangnya pemukiman kumuh. Dengan demikian hal ini merupakan rencana jangka panjang yang orientasinya untuk mengurangi pemukiman kumuh yang berada di Surabaya akibat dari terus menambahnya penduduk dari desa yang mencari kerja di kota dan juga merupakan salah satu proses memaksimalkan otonomi daerah untuk menciptakan lapangan kerja yang mandiri.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun