Malam itu tepat pukul 19.00 wita aku bersila di hadapan palinggih padmasana pura jagatnatha, disebelahku duduk anakku cetta, nara, maha dan istriku. Saat persembahyangan dimulai, ketika tanganku mulai tercakup dikening dan mataku terpejam, terasa tubuh dan tanganku bergetar. Jika orang yang duduk dibelakangku memperhatikan dengan seksama dan teliti mungkin akan mengira aku sedang kerasukan atau berasa dalam kondisi transenden. Dalam meditasi, kondisi transenden bisa ditandai dengan tubuh yang bergetar dan pikiran berada dalam bawah sadar. Suatu keadaan yang mencirikan manunggalnya atman dengan paratman.
Tetapi kondisi itu tidak berlaku pada diriku saat tersebut. Tubuh dan tanganku bergetar bukan karena transenden, bukan pula karena sedang di alam bawah sadar. Ya bukan karena efek kekhusukan sembahyang karena pikiranku sedang kacau, perasaanku ketakutan dan jantungku berdetak kencang. Bahkan saat aku mengetik pengalamanku ini pun pikiranku masih ketakutan, terasa tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Tetapi aku memang harus menulis pengalaman ini dan disaat pikiranku telah stabil aku akan mengunggah di blog pribadiku, semoga ada yang membaca serta menjadi pelajaran untuk yang lainnya nanti.
Mungkin para pembaca bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi, bukankah bersembahyang itu bagus dan merupakan kewajiban umat untuk selalu mendekatkan diri dengan Sang Pencipta? Ya memang begitulah sesungguhnya yang benar.
Bersembahyang apalagi pada hari raya Siwalatri yang merupakan malam perenungan dosa harusnya dimanfaatkan untuk intropeksi diri dan menyatukan pikiran dengan Tuhan.
Namun apa yang terjadi pada diriku termasuk pada keluargaku saat akan memasuki pura Jagatnatha sungguh menjadi peristiwa yang menakutkan jika diingat, bahkan menjadi peristiwa terHOROR dalam hidupku.
Diawal sesungguhnya semua berjalan dengan sangat baik dan menyenangkan. Setelah pulang dari kampus aku sudah disambut oleh anak-anakku yang telah berpakaian adat Bali dan siap berangkat kepura. Mereka semua berteriak “Ayolah pak, cepatlah mandi, kita berangkatlah” begitulah kira-kira kata mereka yang sudah mulai berdialek Malaysia terpengaruh oleh tayangan Upin dan Upin.
Secepatnya aku mandi dan memakai kamen dll karena melihat mereka sudah tidak sabar. Segera setelah semua siap kami (aku, istri dan tiga anak-anak) berangkat. Walaupun diawal agak bingung apakah kekampus dulu atau kepura Jagatnatha, tetapi setelah sampai di perempatan nangka aku memastikan jika ke pura Jagatnatha terlebih dahulu dan setelah itu baru kekampus.
Tiba di daerah lapangan puputan sudah terlihat sepanjang jalan disesaki oleh mobil dan motor terparkir rapi. Karena dipinggir jalan sudah penuh, maka aku pun terpaksa parkir di halaman kantor partai golkar. Pilihan parkir dihalaman kantor partai golkar itu bukan karena aku menjadi pengurus partai tersebut, apalagi berkeinginan untuk menyelesaikan konflik di partai pohon beringin. Alasannya cuma disitu parkir yang masih kosong dan dekat dengan pura.
Sesampainya didepan pura suasana orang yang antri masuk pura belum terlalui ramai. Apalagi memang persembahayangan didalam pura sepertinya baru dimulai. Hal itu aku bisa pastikan karena puja trisandya baru dimulai.
“Pi kalau sembahyang di pura di Bali itu harus ada trisandya ya di awal?” Tanya istriku. “ah tidak juga, biasanya jika persembahyangan tersebut merupakan sesi pertama atau ada pejabat yang hadir baru diawali oleh puja trisandya” begitu jabawaku. Dan ternyata jawabanku benar, pembawa acara didalam pura menyebut nama pejabat hadir bersembahyang saat itu. Okelah aku tidak akan membahas pejabat yang bersembahyang, karena saat itu kakiku sudah mulai lemas berdiri menunggu giliran masuk kepura, maklum sudah lebih dari satu jam lebih serta persembahyangan didalam pura belum juga selesai dan pintu pura yang dijaga pecalang belum juga dibuka.
Situasi mulai agak panas karena selain dari jumlah orang (didominasi oleh para ABG) yang mengantri mulai banyak dan berdesakan, anakku juga sudah mulai kecapekan berdiri.