Membaca berita yang menyebutkan warga Pulau Dewata dianggap kebal Corona sungguh mengundang pertanyaan dari beberapa kolega diluar Bali, sehingga melalui media ini saya ingin menyampaikan sebuah ulasan. Sebagai orang Bali (walaupun saya adalah PNS) tentu merasakan betul bagaimana dampak wabah Covid-19 ini terhadap kehidupan masyarakat Bali. Mungkin dampaknya lebih hebat dan lama dibandingkan dengan kejadian BOM Bali 1 atau 2 beberapa tahun yang lalu. Begitu banyak saudara saya yang bekerja pada sektor pariwisata harus menerima kenyataan ketiadaannya turis asing lagi di Bali, bahkan ada beberapa orang sudah mengeluh susah untuk beli beras. Â
Kembali pada judul diatas, terinspirasi dari tulisan Bapak Nyoman Winata yang dibagikan pada laman facebook saya ingin menambahkan beberapa penegasan dari apa yang sudah beliau sampaikan.
Pertama, sebagai orang Bali dan beragama Hindu tentu saya sangat meyakini semua ritual / upacara yang dilaksanakan, baik atas edaran Gubernur Bali, PHDI Bali maupun inisiatif pribadi masyarakat sungguh berefek sekala dan niskala. M.K. Gandhi mengajarkan Prayer Changes Things.Â
Kedua, Bali berbeda dengan kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung atau yang lain dalam hal transfortasi umum. Fasilitas yang bersifat publik sangat minim di Bali. Semua masyarakat Bali memiliki kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil sehingga hal ini (walaupun situasi dijalan raya masih ramai) tidak mengakibatkan adanya kerumunan orang yang berdesak-desakan untuk menuju kesuatu tempat.
Ketiga, Bali nyaris tidak memiliki pabrik baik swasta maupun BUMN dengan tenaga kerja mencapai puluhan atau ratusan orang yang terkonsentrasi di suatu tempat. Jadi sangat jarang ada kerumunan massa di suatu ruangan dalam kurun waktu berjam-jam, layaknya umum terjadi di pabrik daerah lainnya.
Keempat, dalam komentar dilaman media daring saya membaca bahwa orang Bali katanya tunduk pada arahan pemerintah. Hal ini ada benarnya dan saya secara pribadi juga merasakan bagaimana warga dengan sukarela misalnya meniadakan pawai ogoh-ogoh dalam rangkaian Nyepi, padalah kebanyakan ogoh-ogoh sudah selesai dibuat dengan biaya jutaan bahkan puluhan juta. Dengan peniadaan pawai ogoh-ogoh otomatis kerumunan warga yang biasanya menyemut dijalan raya sirna. Bahkan upacara dipura yang biasanya wajib dilaksanakan akhirnya metanggehin (ditunda) demi mematuhi himbauan pemerintah.
Kelima, saya sependapat dengan Bapak Nyoman Winata, bahwa berkaitan dengan psikologis. Orang Bali meski tekanan ekonomi dan sosialnya cukup berat, selalu ada kanalisasi. Misalnya yang suka berkesenian, ada banjar, ada sanggar ada banyak tempat untuk mengekspresikan. Di Bali, orang kesurupan relatif dihargai bahkan mendapat tempat khusus. Bayangkan kalau ada yang kesurupan di daerah lain, pasti dianggap kemasukan setan. Yang terpenting, konon orang Bali tingkat kebahagiaannya salah satu yang tertinggi.
Keenam, Bali adalah sebuah pulau kecil yang sekarang berpenduduk kira-kira 4.5 juta dimana kepadatan hanya terjadi di kota, sehingga pergerakan penduduk dari satu kota dengan kota lain juga tidak terlalu masif. Berbeda dengan Jakarta, dimana mobilitas orangnya sangat masif baik dari Bogor, Tangerang, Bekasi atau daerah penyangga ibu kota lainnya. Saya teringat dengan kata teman bahwa penduduk Jakarta siang hari berbeda dengan malam hari.
Ketujuh, Saya tergelitik juga membaca komentar-komentar masyarakat atas pemberitaan akan kekebalan warga Bali ini. Hal ini terkait keraguan karena belum masifnya test korana yang dilakukan. Ini sangat beralasan sehingga patut untuk diwaspadai. Namun saya percaya satuan tugas yang sudah dibentuk oleh Gubernur Bali telah bekerja dengan sangat baik. Para pekerja migran Indonesia yang potensial menularkan covid-19 juga telah ditangani dengan baik. Rumah sakit yang ditunjuk dalam penanganan covid-19 ini juga (sepanjang pengetahuan saya) belum menerima lonjakan kedatangan pasien positif, sehingga asumsi saya memang penyebaran covid-19 sampai detik ini masih minim di Bali. Semoga demikian selamanya.
Kedelapan, kebijakan serasa PSBB seperti meliburkan siswa sekolah atau mahasiswa dikampus, kebijakan untuk work from home sudah dari awal dilaksanakan di Bali, termasuk karena efek dari ketiadaan turis asing dan berpengaruh pada pekerja pariwisata yang akhirnya lebih banyak dirumah menjadikan kontak keramaian terhindarkan.