Beberapa hari belakangan ini, saya banyak membaca artikel tentang mundur dari pekerjaan (resign). Di sini saya tidak akan mengulas tentang resign lagi, karena menurut saya teman-teman nanti jadi semakin bingung. Khususnya buat yang punya niatan resign.
Saat ini, saya bekerja di salah satu Kementerian di Republik tercinta ini. Yups! Saya adalah seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau sekarang sudah mulai familiar dengan sebutan ASN (Aparatur Sipil Negara). Saya menjadi ASN sudah hampir dua puluh tiga tahun. Tepatnya bulan April nanti. Karena pada NIP (Nomor Induk Pegawai) tercatat pengangkatan pertama saya di bulan April tahun 1998. Woww...sudah lama juga ternyata.
Masih teringat, waktu pertama kali sebelum diangkat 100 persen jadi ASN, saya mengikuti Pra Jabatan di Rindam Jaya. Digembleng ala-ala militer. Lengkap dengan atribut, baju hijau, dan sepatu bot. Tidur pun di barak gitu. Gemblengan ala militer, sepertinya bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan kami. Namun, lepas dari Rindam Jaya, kedisiplinan pegawai sepertinya masih perlu dipertanyakan.
Masih teringat saat saya pertama kali menginjakkan kaki di Ibu Kota, mencoba mencari peruntungan. Tahun 1995, saat saya pertama mencoba mengajukan lamaran dan diterima sebagai tenaga honorer. Tiga tahun saya jalani. Sebelum datangnya kesempatan menjadi ASN waktu itu. Setelah melewati beberapa tahap seleksi, akhirnya....Alhamdulillah, saya diterima. Sungguh menjadi suatu kebanggaan! Sebagai seorang yang baru pertama kali datang ke Metropolitan, dan menjadi ASN pula.
Saya masih ingat, betapa waktu itu, banyak orang tua yang mengharapkan anaknya ataupun mantunya adalah seorang ASN. Sepertinya saat itu, di zaman itu, ASN menjadi suatu tujuan hidup. Cukup bergengsi! Kenapa seperti itu? Dari beberapa teman yang saya tanya, menjadi ASN adalah pekerjaan yang paling enak dan paling aman. Kok Bisa? Menurut mereka, ASN kerjanya santai, namun memiliki jaminan hari tua. Karena adanya uang pensiun. Wow.....??
Itu kata mereka! Sedangkan saya? Kenapa masuk menjadi ASN? Karena hampir sebagian besar keluarga saya adalah ASN. Bisa jadi, karena tumbuh dari keluarga ASN, sehingga saya pun terpanggil menjalaninya.
Awal-awal sebagai ASN, saya ditempatkan di Bagian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan saya di bangku kuliah. Saya mengenyam pendidikan di Jurusan Ilmu Tanah, sedangkan tugas saya sehari-hari adalah menyiapkan klipping buat pimpinan. Dan klipping itu harus sudah ada di meja pimpinan pukul 07.00 WIB. Bisa dibayangkan kan? Jam berapa saya harus sampai kantor dan melahap kurang lebih duabelas surat kabar.
Awal menerima tugas tersebut, saya sempat berpikir, sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya hanya mengerjakan klipping. Namun, lama kelamaan saya jadi semakin enjoy. Saya ambil sisi positifnya. Melahap duabelas surat kabar, dan mencari tulisan yang terkait dengan Instansi tempat saya bekerja, otomatis menambah wawasan saya. Kemampuan saya membaca cepat menjadi makin baik. Yes!! Ternyata tidak semua pekerjaan tak memiliki arti. Asal kita bisa memahami dan mengerjakan dengan ketulusan hati, pasti ada manfaat yang akan balik ke diri kita.
Cukup lama saya menjalani tugas tersebut, sebelum saya kemudian dipindahkan ke Bagian lain. Suka duka menjadi seorang ASN dengan berbagai tugas yang diberikan pimpinan, cukup memberi warna dalam rangkaian panjang riwayat masa kerja saya.
Namun saat ini, setelah hampir duapuluh tiga tahun mengabdi menjadi seorang ASN, sudah mendapatkan Satyalencana 10 tahun dan 20 tahun, tiba-tiba ada kegalauan yang muncul di hati ini. Begitu banyaknya regulasi yang harus dijalani, tekanan kerja semakin berat, apakah menjadi sebab munculnya kegalauan itu?