“Sepanjang sejarah, pendidikan memiliki tujuan yang utama yaitu membantu orang menjadi pintar dan lebih baik”- Thomas Lickona-
Permasalahan moral di kalangan pelajar semakin menjadi sorotan di jagat maya. Pasalnya, akhir-akhir ini marak terjadi bullying dan tindak kekerasan yang menjerat siswa. Tentu, hal tersebut memberikan potret buram pada dunia pendidikan. Seakan menggambarkan bahwa pendidikan yang selama ini mereka tempuh tidak meninggalkan nilai yang berarti di dalam diri pelajar.
Melalui tulisan ini, saya tidak ingin bermaksud mendoktrin “ini salah siapa?”. Malah saya sangat berterima kasih atas peran civitas akademika dalam upaya membentuk karakter siswa, baik dalam memberi pengetahuan, teladan, mencanangkan program kebudayaan di sekolah dan lainnya.
Mungkin, adanya kasus degradasi (penurunan) moral ini adalah sebuah pengingat dan pelajaran berharga bagi pelaku, siswa, guru dan orang tua untuk senatiasa mengutamakan karakter yang baik. Sebab, akan selalu ada hikmah dibalik suatu peristiwa.
Atas dalih tersebut, saya ingin menganalisis dan membagikan bagaimana saja tiga komponen penting dalam membentuk karakter siswa menurut Thomas Lickona. Barangkali dapat dijadikan referensi tahapan dalam membentuk karakter.
Apakah moral dan karakter itu sama? Sebetulnya jika kita telisik lebih jauh, secara subtansial karakter dan moral memiliki perbedaan yang mendasar. Karakter adalah sikap, sifat atau budi pekerti yang melekat pada diri seseorang. Sedangkan moral dapat diartikan sebagai ajaran mengenai budi pekerti dari sisi baik dan buruknya. Jadi bisa dikatakan berbeda makna namun sama-sama membahas perihal budi pekerti.
Siapakah Thomas Lickona?
Ia merupakan seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan di Universitas New York. Bahkan, beliau juga dikenal sebagai bapak pendidikan karakter dunia. Thomas Lickona memperoleh gelar Ph.D dalam bidang psikologi yang risetnya tentang perkembangan penalaran moral anak-anak. Ia juga menerima penghargaan kehormatan Distinguished Alumni Award dari Universitas New York di Albany. Karya penanya yang menjadi bestseller adalah Educating for Character: Mendidik untuk Membentuk Karakter, Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawab, terjemahan Juma Abdu Wamaungo. Bagi saya buku ini memberikan perspektif dan mengedukasi perihal pendidikan karakter di sekolah. Kalian patut membacanya! hehe.
Tiga komponen penting dalam membentuk karakter siswa di sekolah
Dalam membentuk karakter siswa dibutuhkan proses yang tidak instan. Mulai dari memberikan pengetahuan dan melakukan hal-hal yang baik secara kontinue. Sehingga kebiasaan yang telah dilakukan dapat membudaya. Thomas Lickona yang mendapat julukan sebagai bapak karakter dunia, mengemukakan bahwa dalam membentuk karakter siswa tidak terlepas dari moral knowing, moral feeling dan moral action. Berikut adalah penjelasannya:
1. Memberikan pemahaman moral (Moral Knowing) Kepada Siswa
Moral knowing adalah memberikan pengetahuan yang berkaitan dengan moral. Thomas juga menguraikan bahwa pengetahuan moral berisi tentang kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan pribadi.
Sekilas dari perspektif Thomas tersebut, menegaskan bahwa tahapan yang paling krusial dalam membentuk karakter siswa adalah dengan memberikan pemahaman dan penjelasan tentang moral kepada siswa sehingga mereka mampu mengerti.
Perlu melihat sikon (situasi dan kondisi) jika memberikan pengetahuan (nasehat) tentang moral kepada siswa. Misalkan: siswa dipanggil di kantor untuk diberikan nasihat baik sisi positif maupun negatifnya. Sehingga si anak dapat menerima nasihat dan tidak malu. Bagi saya dalam memberikan moral knowing ini, seyogyanya tidak terlepas dari menggunakan komunikasi asertif. Komunikasi asertif adalah memberi nasehat kepada siswa secara tegas dan terang-terangan (to the poin) tetapi berusaha tidak menyakiti hati mereka.
2. Mengembangkan Perasaan Moral (Moral Feeling) Kepada Siswa
Langkah kedua, setelah memberikan pengetahuan moral adalah mengembangkan sisi emosional siswa supaya mampu memberikan reaksi terhadap apa yang ia lihatnya. Misalkan: guru Akidah Akhlak (agama) memberikan pemahaman moral disertai dengan membangun reaksi siswa, agar mereka mampu merasakan suatu keadaan. Seperti menanyakan “jika kamu tidak dihargai, bagaimana perasaanmu?”.
Beberapa waktu lalu, saya melakukan penelitian di salah satu Madrasah Tsanawiyah (MTs), kebetulan telah mengobservasi (mengamati) perihal pengembangan sisi emosional siswa yang menitikberatkan pada nilai-nilai Islam Rahmatan lil Alamiin.
Setelah melalui proses analisis, saya dapat menyimpulkan bahwa upaya guru di madrasah itu adalah memberi dukungan meliputi membantu siswa untuk berempati dan berhati nurani, harga diri, mencintai hal yang baik dan menasehati siswa untuk memiliki kerendahan hati. Tentunya, hal tersebut dikemas dengan komunikasi asertif dan memberikan insentif (non-material) yakni berupa mengasih pujian, jempol maupun tambahan nilai kepada siswa manakala di dalam kelas.
Dari uraian itu, dapat dipetik pemahaman bahwa dalam upaya mengembangkan sisi emosional siswa, pendidik dapat membantu dan mendukung mereka untuk mewujudkan perasaan moral. Sebab pada dasarnya, sisi emosional ini erat kaitannya dengan rasa simpati, empati, membenci, dan lainnya. Tentu harapan dari mengembangkan emosional siswa (moral feeling) adalah agar mereka mempunyai kecerdasan emosional.
3. Memberikan Aksi Nyata atau Tindakan Moral (Moral Action)
Sejatinya, tindakan moral adalah outcome atau hasil dari dua bagian karakter yakni moral knowing dan moral feeling. Tindakan moral tersebut diartikan sebagai perwujudan (implementasi) dari pengetahuan dan perasaan moral. Sehingga ketiganya saling melengkapi. Dalam hal ini, Thomas Lickona menguraikan bahwa moral action berisi tentang kompetensi,keinginan dan kebiasaan.
Saya menjadi ingat, beberapa waktu lalu pernah melakukan penelitian terkait moral action, saya mendapatkan benang merah bahwa guru memberikan wadah aksi nyata agar siswa berkenan mengimplementasikan hal-hal baik, seperti menciptakan kelas secara kooperatif, membiasakan siswa melakukan keadaban, menegakkan rasa tanggung jawab, dan mengajarkan moral secara acak sesuai masalah yang ditemui dan lainnya.
Hal itu mengartikan bahwa pendidik ataupun sekolah dapat memberikan wadah aksi nyata supaya siswa terbiasa melakukan moral action pada hal-hal yang baik. Salah satu caranya adalah dengan menciptakan kebudayaan moral di sekolah dan menjadikan orang tua (wali murid) sebagai rekan kerja untuk mengajarkan moral. Sehingga seluruh siswa memiliki budaya untuk melakukan hal-hal yang baik, walaupun awalnya terpaksa, namun lambat laun akan terbiasa.
Mungkin dari ketiga perspektif Thomas diatas dapat dijadikan referensi bagi kita semua untuk membentuk karakter siswa di sekolah maupun di copy-paste untuk diajarkan kepada sang anak. Sehingga kasus degradasi moral dapat diminimalisir dengan suatu hal yang kecil namun menghasilkan output yang luar biasa, yakni siswa memiliki akhlak yang mulia.
Penutup
Dalam perspektif Thomas Lickona, membentuk karakter siswa tidak terlepas dengan moral knowing (memberi pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral) dan moral action (tindakan moral). Sehingga diharapkan, siswa mampu mengerti, meresapi dan melakukan hal-hal yang baik. Tentu, membutuhkan waktu yang tidak instan dalam membentuk karakter mereka, sebab akan melewati fase terpaksa hingga akhirnya terbiasa dan membudaya. Oleh karenanya, dibutuhkan sinergi antara siswa itu sendiri, guru, dan orang tua dalam rangka terwujudnya pelajar yang berbudi luhur.
Referensi : Thomas Lickona, Educating for Character: Mendidik untuk Membentuk Karakter, Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan Tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawab, terj., Juma Abdu Wamaungo, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2015)