Mohon tunggu...
Muhammad Ikbal
Muhammad Ikbal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Temui saya di http://ikbaldelima.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

TMII: Menghilangkan Jarak dan Mempererat Budaya Bangsa

16 Maret 2015   14:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:35 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah sebuah negara luas yang kaya akan keanekaraman budaya dan sumber daya alam. Bahkan karena luasnya, Indonesia menduduki peringkat ke 15 sebagai negara terbesar di dunia dengan luas 1.919.440 KM2. Di dalamnya kita akan menemukan lebih dari 17.000 pulau, 1.128 suku bangsa dan sekitar 726 bahasa. Jika kita ingin mengenal lebih jauh lagi, maka kita akan dapati beragam hasil dan bentuk budaya di dalamnya seperti pakaian adat, tarian dan lagu daerah, rumah adat, masakan khas daerah, adat istiadat masyarakat dan banyak lagi lainnya. Maka tak salah ketika Bhineka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan negara, karena Indonesia merupakan kesatuan dari segala bentuk perbedaan-perbedaan dalam masyarakatnya, termasuk perbedaan budaya.

[caption id="attachment_356381" align="aligncenter" width="568" caption="Luasnya Indonesia (sumber gambar: kompas.com)"][/caption]

Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya yang luar biasa, namun sayangnya, hal itu juga menyebabkan Indonesia selalu berpotensi menghadapi konflik antar etnik dan suku bangsa. Sebagai contoh, Indonesia pernah mengalami kerusuhan berdarah di Maluku dengan perpaduan antara konflik agama dan etnis pada tahun 1999-2002 serta kerusuhan sambas yang melibatkan suku Dayak, Madura, dan Melayu di Kalimantan Barat.

Konflik-konflik tersebut disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah karena kurangnya interaksi dengan etnis lain. Untuk kasus kerusuhan Sambas misalnya, Douglas dalam buku Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat karangan Eko A. Meinarno dkk mengungkapkan bahwa ketiga suku bangsa yang bertikai di Sambas tidak biasa melakukan hubungan antar-pribadi. Hal inilah yang mengakibatkan tumbuh suburnya stereotip antar-suku bangsa yang kemudian mengakibatkan terjadinya konflik sosial. Sebaliknya, jika upaya untuk saling mengenal antar suku bangsa terjadi, maka konflik dapat diredam dan dihindari. Manfaatnya dapat dilihat dari konflik Maluku (Khususnya Ambon) yang mereda setelah terjadinya upaya saling memahami.

Selain tumbuhnya stereotip negatif antar suku bangsa,  kurangnya interaksi dan aktifitas untuk saling mengenal budaya suku bangsa lain juga menyebabkan timbulnya sikap Etnosentrisme. Sikap etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki dan kurang mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Individu yang memiliki sikap etnosentrisme akan mengagungkan budaya suku bangsanya sendiri dan menganggap rendah suku bangsa lain.

Pengalaman penulis tinggal di pedesaan Provinsi Aceh pun menguatkan keberadaan sikap etnosentrisme di kalangan masyarakat. Banyak kerabat penulis yang sering beranggapan bahwa Aceh adalah bangsa yang unggul dan hebat dibandingkan suku bangsa lain. Anggapan ini seolah dibenarkan dengan adanya satu slogan primordial yang kerap terdengar sejak dulu di kalangan masyarakat Aceh yang kira-kira berbunyi “Aceh bangsa teuleubeh ateuh rueng donya” (Aceh bangsa yang hebat di atas permukaan bumi). Pada suku bangsa lain, contoh perilaku etnosentris dapat kita lihat pada perilaku Carok pada masyarakat Madura. Perilaku Carok ialah upaya balas dendam yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang telah melecehkan harga dirinya. Sikap Etnosentrime lain pun dapat kita temukan pada sikap masyarakat yang mudah terlibat konflik antar kelompok di berbagai daerah Indonesia hanya karena tersinggung dengan kelompok lainnya. Sikap etnosentris ini, ditambah dengan kesenjangan sosial dan konflik sedikit saja akan mudah memicu timbulnya kasus-kasus SARA di masa mendatang. Melihat berbagai penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa interaksi dan aktifitas saling mengenal antar suku budaya merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah konflik di masa mendatang.

Maka tak salah ketika ada peribahasa yang berbunyi, tak kenal maka tak sayang. Jika sudah kenal, konflik mudah diredam dan dihindari. Jika sudah saling kenal, satu dengan yang lainnya menjadi rekat, akrab dan erat. Pribahasa ini berlaku pada skala yang kecil maupun yang besar di semua lini kehidupan. Pada skala kecil misalnya, seorang mertua tak akan lega melepaskan anak wanitanya kepada seorang pemuda sebelum ia mengenalnya dengan baik, seorang atasan akan sulit mempercayai seorang bawahan sebelum ia paham bagaimana sikap dan prilaku karyawannya, akan selalu ada gosip negatif yang menyebar ketika seorang tetangga terlalu tertutup dengan lingkungannya, seseorang tak akan mengubah status seorang teman menjadi sahabat sebelum ia mengenalnya dengan baik. Pribahasa inipun berlaku dalam skala yang lebih besar, khususnya kehidupan suatu negara yang kaya akan budaya. Tak akan rekat budaya bangsa tersebut kecuali warganya mengenal dengan baik budaya saudara setanah airnya.

Tapi sayang, karena luasnya Indonesia dan kemampuan ekonomi yang berbeda-beda, tak semua warga negara mampu mengenal suku dan budaya lain di negeri ini. Bahkan banyak masyarakat yang lebih memilih untuk berwisata ke luar negeri daripada di negeri sendiri. Mereka beralasan bahwa berwisata di dalam negeri lebih banyak menghabiskan uang dibandingkan berwisata ke luar negeri. Namun, hal itu masih bisa dibilang lumayan jika dibandingkan dengan banyaknya warga negara yang tak cukup mampu untuk bepergian, bahkan dalam jarak dekat. Sebagian warga negara (khususnya warga pedesaan yang kurang mampu) “dipaksa” oleh keadaan untuk selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya yang homogen. Jarak yang jauh dan terisolirnya sebagian warga negara ini seolah memberikan jalan bagi tumbuhnya stereotip negatif antar-suku bangsa dan Sikap Etnosentrisme pada masyarakat. Akibat lebih jauhnya, upaya untuk merekatkan budaya bangsa yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun menemukan jalan terjal untuk dilalui.

TMII Memutus Jarak

Namun, persoalan ini seolah menemui titik temu ketika pemikiran hebat muncul dari Ibu Tien Soeharto pada tanggal 13 Maret 1970. Beliau menyampaikan gagasan untuk membangun Miniatur Indonesia. Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Taman Mini “Indonesia Indah” (TMII). Dengan TMII, jarak geografis yang jauh bagi warga negara untuk saling mengenal saudara setanah airnya bukan lagi menjadi masalah.

Telah dijelaskan diatas, bahwa salah satu penyebab timbulnya sikap etnosentris dan stereotip negatif antar suku bangsa adalah karena kurangnya pengalaman individu dalam berinteraksi dengan budaya lain. Pada poin inilah TMII memainkan peran pentingnya. TMII memberikan pengalaman bagi setiap pengunjungnya untuk mengenal dan berinteraksi dengan budaya lain.

Mengunjungi dan melihat Indonesia di TMII Indonesia memberikan banyak manfaat bagi para pengunjungnya. Keterbukaan pikiran dan penghargaan terhadap perbedaan adalah manfaat terbesar yang pengunjung dapatkan.

Mengunjungi puluhan anjungan dari berbagai provinsi di TMII membuka mata dan membuat bangga pengunjungnya akan ragamnya budaya Indonesia. Kita akan mendapati 33 anjungan dari berbagai provinsi di Indonesia. Mulai anjungan Provinsi Aceh yang salah satu bangunannya merupakan bangunan bersejarah berupa rumah Cut Meutia sampai pada rumah Honai dan Kariwari di anjungan Papua barat dengan segala aspek budayanya. Dalam masing-masing anjungan, kita pun akan mendapati berbagai macam artefak etnografi seperti jenis baju dan pakaian adat, busana pernikahan, baju tari, senjata tradisional, perabotan sehari-hari, kerajinan tangan dan benda budaya lain yang khas akan budaya provinsi setempat. Maka tidaklah terlalu berlebihan jika kata “Mini” dilekatkan pada TMII, karena TMII memang merupakan miniaturnya Indonesia.

[caption id="attachment_356373" align="aligncenter" width="630" caption="Pesawat R.I 001 Di Anjungan Aceh dan Rumah Honai di Anjungan Papua Barat (Sumber: tamanmini.com)"]

1426751478185873360
1426751478185873360
[/caption]

Nuansa Ke-Indonesia-an pun semakin kental dengan pemandangan Miniatur Kepulauan Indonesia yang terletak di tengah-tengah bangunan anjungan. Miniatur ini berupa danau kecil dengan daratan-daratan kecil sebagai pulaunya dan air danau sebagai lautnya. Memandang danau miniatur Indonesia ini dari anjungan provinsi seolah menekankan bahwa kita memang berbeda tapi tetap satu dibawah payung negara.

[caption id="attachment_357145" align="aligncenter" width="630" caption="Miniatur Kepulauan Indonesia (sumber: id.wikipedia.org)"]

1427165015574725041
1427165015574725041
[/caption]

Nuansa toleransi pun semakin tumbuh dengan adanya enam tempat ibadah dari enam agama resmi di tanah air. Kita akan menemukan Mesjid Pangeran Diponogor0 bagi umat Islam, Gereja Santa Catharina bagi umat Katolik, Gereja Kristen Protestan Halelusa bagi umat Kristiani, Pura Penataran Agung Kertabhumi bagi Umat Hindu, Wihara Arya Dwipa Arama bagi umat Budha, dan Klenteng Kong Miao bagi Umat Agama Konghucu. Bahkan juga terdapat bangunan Sasono Adiroso Pangeran Sambernyowo bagi pemeluk ajaran keyakinan di Jawa. Bangunan-bangunan tersebut menjulang kokoh di satu tempat yang sama di Miniaturnya Indonesia. Dengan adanya rumah ibadah yang beragam ini, para pengunjung dapat belajar untuk saling menghormati antar umat beragama.

[caption id="attachment_356374" align="aligncenter" width="630" caption="Berbagai Rumah Ibadah di TMII (sumber: tamanmini.com)"]

14267515711013574988
14267515711013574988
[/caption]

Selain itu, melihat rangkuman budaya dan kekayaan bangsa dari berbagai museum yang ada di TMII membuat erat kecintaan akan negeri dan sesama. Di TMII setidaknya kita akan mendapatkan tak kurang dari 20 Museum yang berdiri kokoh. Kita akan berdecak kagum atas ragamnya hasil budaya yang dipamerkan di Museum Indonesia. Pengetahuan pun akan bertambah atas informasi tentang energi dan sumber daya alam pada Museum Minyak dan Gas Bumi serta Museum Listrik dan Energi Baru. Bahkan bagi anda yang memiliki hobi filateli, TMII akan memuaskan hasrat anda dengan adanya Museum Perangko.

[caption id="attachment_356375" align="aligncenter" width="630" caption="Museum Indonesia dan Museum Perangko (Sumber: tamanmini.com)"]

1426751691378735395
1426751691378735395
[/caption]

“Mengelilingi” Indonesia dengan segala hiburan dari berbagai wahana rekreasi yang ada membuat TMII menjadikan pengalaman menjelajah budaya terasa tak membosankan. Sebagai contoh, Di barat daya TMII dan dekat dengan Kuil Konghucu, kita akan menjumpai Teater Imax Keong Mas yang akan mengenalkan kita tentang kekayaan alam dan budaya Indonesia dengan tayangan layar raksasa. Perjalanan budaya pun akan terasa mengasyikkan dengan adanya kereta gantung yang melintas tepat di atas Minatur Kepulauan Indonesia dan Anjungan-anjungan di sekitarnya.

[caption id="attachment_356377" align="aligncenter" width="630" caption="Berbagai Wahana Rekreasi di TMII (Sumber: tamanmini.com)"]

1426751811905894765
1426751811905894765
[/caption]

Pikiran dan tubuh pun menjadi segar dengan berbagai taman yang mengungkap keindahan flora dan fauna yang ada di Indonesia. Kita akan mendapati wahana-wahana yang mengeksplor pengetahuan tentang kekayaan fauna atau hewan di Indonesia dengan adanya taman Reptilia, Bekisar, Kupu-kupu, Burung dan Akuarium Air Tawar. Sedangkan hasrat akan keingintahuan atas informasi fauna atau tumbuhan di Indonesia bisa kita temukan di Taman Apotik Hidup, Melati, Kaktus, dan Taman bunga Keong Mas. Selain itu juga terdapat Taman Budaya Tionghua yang terletak di samping Museum Perangko yang memamerkan budaya dan sejarah suku Tionghua di Indonesia.

[caption id="attachment_356378" align="aligncenter" width="630" caption="Taman Akuarium Air Tawar dan Budaya Tionghoa (Sumber: tamanmini.com)"]

1426751884886324601
1426751884886324601
[/caption]

Dari berbagai fasilitas di TMII, stereotip-stereotip negatif antar suku bangsa dan sikap etnosentrisme memungkinkan untuk dapat teratasi. Bagi pengunjung, Stereotip negatif terhadap suku bangsa lain akan berkurang dan hilang, karena TMII memberikan pemahaman tentang budaya suku lain yang selama ini tak didapat akibat kurangnya interaksi antar suku bangsa. Sedangkan sikap etnosentrisme dalam masyarakat akan menyusut sejalan dengan pengetahuan akan keragaman yang didapat di Taman Mini “Indonesia Indah” (TMII). Hasilnya, konflik antar suku bangsa yang terjadi di masyarakat dapat diredam sejalan dengan bertambahnya perspektif dari budaya suku dan etnis lain.

Selain itu, kemampuan TMII yang dapat memangkas jarak untuk saling mengenal antara saudara setanah air memberikan manfaat akan timbulnya sikap toleransi antar suku bangsa. TMII memberikan pemahaman bahwa perbedaan bukan menjadi alasan untuk mencaci tapi menjadi alasan untuk saling menghargai dalam ikatan persaudaraan. Hasilnya, TMII mampu merekatkan budaya bangsa dan membongkar tembok pemisah bagi setiap suku bangsa untuk saling hidup damai bersama.

1426954787699087678
1426954787699087678

Berdasarkan manfaat di atas, maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa TMII merupakan hal yang wajib dirasakan bagi setiap warga negara. Atau setidaknya, itulah yang penulis harapkan pada negara, memberikan kesempatan yang luas untuk mengenal budaya dari saudara setanah airnya.

Harapan dan saran di Usia yang ke 40

TMII adalah wahana yang penting untuk mempererat budaya, tapi sayangnya tak semua orang mampu menikmatinya. Ada ratusan juta orang di Indonesia dan tak semuanya mampu berkunjung ke ibukota. Bahkan ada banyak orang yang tidak pernah keluar dari provinsi tempat ia tinggal. Di ulang tahunnya yang ke 40, penulis berharap TMII mampu memperluas sayapnya ke penjuru negeri. Tak perlu membangun TMII yang sangat besar seperti di Ibukota, cukuplah sebuah gedung atau museum kecil yang memberikan informasi budaya dari seluruh negeri di setiap provinsi. Setidaknya, jika warga-warga pelosok tak mampu untuk menjelajah budaya di TMII versi ibukota, mereka mampu berkunjung ke cabang TMII di setiap ibukota provinsi.

Anjungan-anjungan pada cabang TMII provinsi bisa berbentuk replika miniatur kecil dari rumah-rumah adat dalam kotak kaca. Sedangkan hal-hal yang dirasa tak mungkin untuk dipamerkan langsung bisa diganti dengan tampilan audio visual. Masalah teknis lainnya mungkin bisa dipertimbangkan lagi jika usulan ini diterima.

Namun jika saran ini dirasa terlalu berat, mungkin TMII cukup melebarkan sayapnya di setiap pulau-pulau besar di tanah air. Letak TMII di setiap pulau ini pun harus mempertimbangkan letak geografis dan sarana angkutan umum yang mudah dijangkau masyarakat. Yang jelas, TMII di setiap cabang provinsi atau pulau merupakan versi mini dan simpel dari Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Ibukota yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada warga negara yang jauh dari pusat negara untuk mengenal budaya saudara setanah airnya.

Selanjutnya, keragaman budaya yang dipamerkan di TMII tentunya bermanfaat bagi tumbuhnya sikap toleransi bagi masyarakat, sehingga konflik-konflik SARA menjadi semakin dapat dihindari. Di Usianya yang ke 40, TMII diharapkan mampu untuk lebih memainkan perannya untuk meredam konflik di masyarakat. Penulis dalam hal ini ingin memberikan contoh dari sebuah film Hollywood berjudul The Freedom Writers. Film ini berkisah tentang upaya seorang guru untuk menyatukan murid-muridnya yang selama ini terpecah dan berkonflik atas dasar geng, warna kulit dan ras. Singkatnya, salah satu cara yang dilakukan sang guru untuk meredam sikap rasial pada siswa ialah membawa muridnya ke Museum Toleransi.

Museum toleransi ini berisi segala macam informasi dalam bentuk fisik maupun audio visual tentang pembantaian kaum Yahudi yang terjadi di Eropa. Menjabarkan alasan Nazi membantai yahudi, menggambarkan kengerian yang dialami warga yahudi, menunjukkan sisa-sisa kekejaman dari kejadian Holocaust, foto korban perempuan serta anak-anak yang terbunuh, dan lain-lain. Museum ini memberikan perspektif yang lengkap tentang konflik dengan latar cerita Holocaust. Dengan semua informasi menarik yang disediakan, para siswa dapat menghayati pengalaman yang dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kejadian tersebut puluhan tahun yang lalu.

[caption id="attachment_356774" align="aligncenter" width="630" caption="Pengunjung Mengamati Pakaian Peninggalan Korban Holocaust (Sumber: museumoftolerance.com)"]

14269557891211399496
14269557891211399496
[/caption]

Berkenaaan dengan hal di atas, TMII mungkin bisa meng-ada-kan Museum Toleransi seperti di Film The Freedom Writers. Isinya tentu saja menjabarkan berbagai konflik yang pernah terjadi di tanah air. Misalnya konflik yang terjadi di Maluku dan Poso, Konflik Sampit di Madura dan lain-lain. Museum ini dapat memberikan penjabaran tentang perspektif dari ke dua pihak yang berkonflik, menjelaskan faktor dan penyebabnya, bagaimana konflik berlangsung, akibatnya dan lain-lain. Selain itu, Museum Toleransi versi Indonesia ini juga dapat mengangkat masalah prasangka-prasangka atau stereotip yang terjadi di masyarakat Indonesia. Semua itu tentu saja dikemas dalam bentuk menarik baik secara fisik, visual, audio dan audio visual. Semua itu berfungsi untuk menambah wawasan masyarakat tentang konflik dan mencegah terjadinya konflik antar masyarakat dan antar suku bangsa di masa mendatang. Karena tak bisa dipungkiri bahwa perbedaan (termasuk budaya), selain membawa warna-warni dalam persaudaraan, juga dengan mudah memicu pertikaian.

Selamat ulang tahun ke 40 TMII dan semoga berjaya selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun