Mohon tunggu...
Ika Virginaputri
Ika Virginaputri Mohon Tunggu... -

A free-spirited writer, humanist at heart, current-affair observer.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kelas Menengah: Perangkap atau Penyelamat?

31 Desember 2013   01:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:20 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertumbuhan ekonomi suatu negara ditentukan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, perkembangan teknologi dan infrastruktur, serta iklim politik dan keamanan. Bicara tentang ekonomi serta hubungannya dengan politik dan keamanan, beberapa tahun terakhir kita melihat banyak negara mengalami goncangan. Contohnya bentrokan di Thailand di tahun 2010, demonstrasi di Turki bulan Juni 2013, kerusuhan di Mesir yang terjadi di tahun 2011 dan 2013, serta goncangan di Suriah dan Sudan. Semuanya mempunyai satu dampak pasti, kerugian material dan krisis ekonomi.

Walau “hanya” berlangsung sekitar 2 minggu, Turki menderita kerugian hingga US$ 10 juta atau lebih dari Rp. 121 milyar akibat kerusuhan yang berawal dari aksi demonstrasi lingkungan tersebut. Sedangkan kerusuhan di Mesir tahun 2013 ini ditaksir menimbulkan kerugian sebesar 120 milyar poundsterling Mesir (Egypt poundsterling/EGP) atau lebih dari Rp. 211 triliun. Angka itu belum termasuk hilangnya pendapatan negara dari berbagai sektor seperti transportasi, pariwisata dan investasi. Goncangan politik dan gangguan keamanan jelas sangat mempengaruhi perekonomian sebuah negara, bahkan secara global. Penurunan nilai tukar mata uang, anjloknya bursa efek dan kenaikan harga menjadi tak terhindarkan. Inikah yang akan terjadi di Indonesia menjelang pemilu 2014 sebagai event besar politik?

Tak sedikit yang meramalkan ekonomi Indonesia akan sedikit melemah dengan memanasnya suhu politik di pemilu 2014. Salah satunya adalah Dekan Fakultas Bisnis Universitas Siswa Bangsa Internasional, Adler Manurung, yang menyatakan bahwa pemilu 2014 akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia karena para investor dan pelaku bisnis lebih memilih menunggu sampai mereka mengetahui pemenang pemilu yang akan menentukan arah kebijakan ekonomi ke depannya.

Sebuah diskusi bertema “Evaluasi 2013 – Prediksi 2014; Resesi Ekonomi dan Potensi Kerusuhan.” yang diadakan oleh Indonesia Economic Development Studies bahkan memprediksi adanya kerusuhan sosial di tahun 2014. Selain karena adanya pemilu, kerusuhan sosial di 2014 diindikasikan oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar yang tidak stabil, PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang dan kontraktor akibat jatuhnya harga batubara dan penerapan Undang-Undang Minerba yang melarang ekspor mineral mentah.

Tetapi berkat peranan masyarakat dari kalangan menengah, banyak juga yang meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap jadi yang tertinggi di antara negara-negara lain. Memang benar di akhir tahun 2013 pertumbuhan ekonomi cenderung lambat. Tetapi hal itu justru bagus untuk meminimalisir defisit neraca perdagangan Indonesia. Hal itu diungkapkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Prof. Firmanzah Ph.D. Firmanzah yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu mengemukakan alasannya bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar disumbangkan oleh konsumsi domestik dari kalangan menengah. Tapi sayang, tingginya tingkat konsumsi tersebut belum dibarengi oleh produktivitas dalam negeri sehingga supply barang harus dipenuhi lewat impor. Tingginya daya beli masyarakat memicu tingginya angka impor, sedangkan angka ekspor masih tetap rendah. Itulah yang menyebabkan neraca perdagangan kita mengalami defisit. Maka memperlambat pertumbuhan ekonomi pun dilakukan supaya supply-demand bisa seimbang dan ekonomi tetap stabil.

Menurut Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, di tahun 2010 kelas menengah Indonesia hanya sekitar 36% penduduk, tapi di tahun 2013 naik signifikan menjadi 56,5%. Peningkatan itu terjadi karena pertumbuhan ekonomi negara kita yang cukup tinggi dibanding negara lain. Di awal tahun 2013, hasil riset majalah Swa mengungkapkan fakta bahwa populasi kelas menengah di Indonesia mencapai 130 juta jiwa dengan potensi konsumsi senilai Rp. 130 triliun sebulan. Dan berdasarkan hal itu dan seperti yang sudah tertulis di paragraf sebelumnya, kalangan menengah Indonesia bisa jadi perangkap atau penggerak utama roda perekonomian kita.

Dengan kuatnya daya beli, kelas menengah sudah menjadikan Indonesia sebagai tempat menanamkan modal yang menjanjikan bagi investor. Kuatnya daya beli kelas menengah juga sudah membuat Indonesia tetap aman dari pengaruh krisis finansial yang melanda Eropa dan Amerika. Tapi kuatnya daya beli itu juga bisa mengancam naiknya defisit neraca perdagangan apabila tidak diimbangi peningkatan produksi domestik. Inilah PR ekonomi buat pemerintah. Suksesnya pembangunan yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebaiknya diikuti oleh upaya peningkatan produktivitas dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang daya belinya semakin meningkat.

Ekonomi dan politik adalah dua hal berbeda yang sangat erat berkaitan. Kita sudah melihat banyak negara mengalami goncangan politik akibat krisis ekonomi atau krisis ekonomi yang menyebabkan goncangan politik. Tapi seburuk apapun prediksi yang akan terjadi di negara ini dan apapun penyebabnya, semoga kelas menengah Indonesia dengan karakteristiknya yang mapan dan rasional selalu bisa jadi “penyelamat” dari situasi yang mengancam stabilitas dalam negeri.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun