Mohon tunggu...
Ika Virginaputri
Ika Virginaputri Mohon Tunggu... -

A free-spirited writer, humanist at heart, current-affair observer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Konflik Negara dan Kebebasan Pers

10 Maret 2014   14:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:05 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Seperti manusia yang tak pernah luput dari berbagai masalah hidup, semua negara di dunia ini pasti penuh dengan konflik. Mulai dari masalah sosial, bencana alam, krisis ekonomi, sampai perang saudara yang mengancam keamanan nasional. Selain sejumlah rakyat yang seringkali kesejahteraannya terancam, ternyata keberadaan media dan para jurnalis juga ikut merasakan pengaruh negatif akibat konflik negara. Hal ini terungkap dari Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2014 yang dirilis pertengahan Februari lalu oleh Reporter Without Borders atau Reporter Sans Frontiers, sebuah lembaga nirlaba dari Prancis. Bagaimana korelasi antara konflik negara dan kebebasan pers?

Demi Keamanan Negara

Menurut laporan Reporter Without Borders, negara dengan konflik bersenjata cenderung membatasi gerak jurnalis serta mengatur setiap informasi dan pemberitaan. Contohnya konflik kepemimpinan antara Ikhwanul Muslimin yang mendukung Muhamad Mursi versus militer di Mesir. Konflik yang berbuntut kerusuhan itu membuat beberapa jurnalis ditahan karena tuduhan pro kelompok Ikhwanul Muslimin yang secara resmi sudah dinyatakan sebagai teroris oleh pemerintah sementara di Mesir. Jurnalis tersebut adalah Mohamad Adel Fahmy, Kepala Biro stasiun TV Al Jazeera di Kairo dan wartawan Australia yang bernama Peter Greste. Menurut Kementerian Dalam Negeri Mesir, keduanya ditangkap karena menyiarkan berita ilegal yang merugikan ‘keamanan dalam negeri’ Mesir. Efek penangkapan itu juga dirasakan oleh jurnalis di negara tetangga Mesir seperti Turki, Palestina, Suriah dan Uni Emirat Arab (UEA). Pemerintah UAE menahan Anas Fouda, blogger yang memberitakan situasi politik di Mesir dan memerintahkan penutupan sejumlah website yang melakukan hal serupa. Pemerintah UEA juga menahan 6 orang yang menginformasikan jalannya persidangan tersangka pendukung Ikhwanul Muslimin lewat Twitter. Dari 180 negara yang disurvei dalam Indeks Kebebasan Pers 2014, Mesir berada di peringkat 159 dan UEA di peringkat 118. Reporter Without Borders juga mengindikasikan adanya pengaruh negatif antara sistem pemerintahan sebuah negara dengan minimnya akses informasi publik. 3 negara terbawah dalam Indeks Kebebasan Pers merupakan negara yang dipimpin oleh diktator, yaitu Suriah (Presiden Bashar Al-Assad), Korea Utara (Presiden Kim Jong Un) dan Eritrea (Presiden Isaias Afwerki).

Yang menarik di Indeks Kebebasan Pers 2014 adalah turunnya peringkat Amerika Serikat yang setahun lalu berada di posisi 32 menjadi di posisi 46. Penyebabnya adalah kebocoran dokumen rahasia negara ke “pihak luar” seperti yang terjadi dalam kasus Bradley Manning dan Edward Snowden. Gara-gara dua nama itu, sekarang Amerika melakukan kontrol super ketat terhadap media dan jurnalis. Diantaranya dengan melakukan penyitaan catatan telepon milik kantor berita Associated Press tanpa pemberitahuan. Tindakan itu dilakukan Departemen Kehakiman Amerika dalam rangka mencari sumber kebocoran yang terjadi di CIA. Inggris juga melakukan hal yang sama dengan menahan David Miranda, pasangan dari jurnalis The Guardian, Glenn Greenwald yang menerima bocoran dokumen dari Edward Snowden. Karena hal ini, sekarang Inggris berada di nomor 33 dalam Indeks Kebebasan Pers 2014. Turun 4 peringkat dari tahun lalu.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kebebasan pers di Indonesia mengalami penurunan peringkat secara drastis dari posisi 117 di tahun 2010 ke posisi 146 di tahun 2011-2012. Bukan karena adanya pembatasan atau pengendalian dari pemerintah seperti yang terjadi di negara-negara dengan pemerintah otoriter, melainkan karena tingginya kasus kekerasan yang dialami jurnalis di luar Jakarta. Salah satunya adalah penusukan Banjir Ambarita, jurnalis kontributor Jakarta Globe dan Vivanews di Papua. Kasus yang terjadi di awal Maret 2011 tersebut diduga berhubungan dengan berita yang ditulis Ambarita tentang pemerkosaan tahanan perempuan yang dilakukan oleh tiga oknum polisi. Di akhir tahun 2013 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan turunnya tingkat kekerasan terhadap jurnalis. Dari 51 kasus di tahun 2012, turun menjadi 40 kasus. Hal ini membuat peringkat kebebasan pers di Indonesia semakin membaik. Di indeks 2014 Indonesia menduduki peringkat 132, naik 7 peringkat dari tahun 2013. Walau begitu, jurnalisme Indonesia masih punya banyak tantangan yang harus dipenuhi.

Proteksi dan Kode Etik

Berakhirnya rezim Soeharto membawa masyarakat Indonesia pada sebuah perspektif baru, kebebasan informasi. Dimulai dengan dikeluarkannya UU no 40 tahun 1999 tentang pers oleh B.J Habibie dan didukung dengan perkembangan teknologi digital, saat ini hampir tak ada batasan yang menghalangi masyarakat untuk berekspresi dan mendapatkan informasi. Begitupun dengan para jurnalis. Tak ada lagi pembredelan media, tak ada lagi kontrol terhadap konten berita. Sayangnya belum semua pihak menyadari pentingnya kebebasan informasi untuk kepentingan publik. Kasus kekerasan dan kriminalisasi jurnalis masih terjadi akibat minimnya perlindungan, baik dari media tempat mereka bekerja dan terutama dari pihak penegak hukum. Namun jika jurnalis berani mengkritik pihak lain yang mengancam kebebasan pers, maka jurnalis juga harus bisa berbesar hati melakukan introspeksi. Apakah dalam bertugas sudah mematuhi kode etik dan UU? Sudah bersikap baik dan memenuhi hak narasumber? Sebab bagaimanapun kebebasan pers juga sangat tergantung kepada profesionalisme pelakunya. Indonesia mungkin belum sanggup mengejar Finlandia dan Belanda sebagai negara dengan kebebasan pers terbaik di dunia selama bertahun-tahun. Tapi paling tidak pers Indonesia bisa terus berbenah untuk memperbaiki sistem demokrasi di negara ini. Seperti yang diungkapkan Marta Cooper, Editorial Researcher di lembaga Index on Cencorship di London, “Press freedom is the bedrock of democratic society.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun