Mohon tunggu...
Ika Utaminingrum
Ika Utaminingrum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kalau pusing itu tandanya duitnya menipis sekian terimakasih

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pertempuran di Surabaya

1 Mei 2024   00:03 Diperbarui: 1 Mei 2024   00:20 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari awal mula yang melatar belakangi terjadinya pertempuran Surabaya ini adalah ketidaksediaan rakyat Surabaya dijajah kembali oleh Belanda yang membonceng sekutu datang ke Surabaya untuk alasan penertiban dan pembebasan tawanan perang setelah Jepang kalah dalam perang dunia ke 2. Sikap antipatif rakyat sebenarnya sudah ditunjukkan ketika rombongan tentara sekutu yang diboncengi NICA mendarat di Surabaya pada akhir september 1945.

Namun, Sekutu tidak menyelesaikan tugasnya dengan jalan damai, dan pada tanggal 27 Oktober 1945, langit di atas Surabaya dipenuhi pamflet berisi ultimatum sekutu, yang memerintahkan setiap orang yang bersenjata untuk menyerah dan meletakkan senjatanya. Pada tanggal 29 Oktober 1945, para pemimpin Inggris meminta bantuan Soekarno untuk datang ke Surabaya untuk menenangkan gelombang arek Suroboyo dan mengakhiri pertempuran melalui diskusi. Presiden Soekarno tiba bersama Wakil Presiden Muhammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifudin.

Terdapat enam kesepakatan yang dicapai setelah pembahasan alot, yang juga dihadiri oleh Sumarsono dan Bung Tomo, dan disiarkan antara pukul 18.30 hingga 21.00. Argumennya, ada gencatan senjata, keamanan mantan tahanan, dan Indonesia tidak menentang kedatangan tentara sekutu, kecuali yang mengancam kemerdekaan RI.

Setelah Sukarno kembali ke Jakarta, gencatan senjata tidak berlangsung lama karenatidak lama setelah delegasi Indonesia kembali ke Jakarta, kembali terjadi gesekan antara pejuang Indonesia dan sekutu di sekitar hotel Internatio Jembatan Merah 30 Oktober 1945 yang menyebabkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby.  

Kematian Malaby membuat Inggris mempertanyakan tanggung jawab Soekarno. Inggris telah mengeluarkan ultimatum baru yang menuntut Indonesia menyerahkan semua senjata kepada Inggris pada 10 November pukul 6 pagi. Jika mereka tidak setuju, Inggris akan membombardir Surabaya. 

Namun  demikian  ultimatum  tersebut tidak membuat    gentar    rakyat    Surabaya ditambah  dengan   seruan   jihad   dari   ulama, semangat yang membakar  dari  pidato  bung Tomo  dan  siaran radio  gubernur  Soeryo  yang semakin  membulatkan  tekad  rakyat  pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di   Surabaya   sampai   titik   darah penghabisan. Keberanian     dan     ketegasan pemuda-pemuda Surabaya didalam mengambil keputusan  untuk menolak  ultimatum  sekutu yang     berisikan     perintah     kepada     rakyat Indonesia   yang   berada  di  Surabaya   untuk menyerah dengan membawa persenjataan yang dimiliknya atau dengan kata lain menyerahkan seluruh pemerintahan  RI  di  Surabaya  kepada Inggris dengan  segala  alat--alat  keamanan  dan pertahanannya,   merupakan   bukti semangat nasionalisme  yang  tinggi  pemuda  Surabaya.

Nasionalisme dan rasa  tidak  kenal  takut  ini ditunjukkan  oleh tokoh-tokoh     yang     dianggap     berpengaruh terhadap    terjadinya   pertempuran  surabaya 1945.   Sikap   berani   dan   nasionalisme   ini menjalar   ke   seluruh   rakyat   Surabaya   dari berbagai  golongan,  usia,  suku  dan  kelompok. Kehadiran mereka membakar semangat kepada pejuang rakyat Surabaya menghadapi sekutu. Masa perang kemerdekaan banyak para pemimpin-pemimpin  bangsa  dan  tokoh-tokoh militer, seperti  Soekarno,  Bung  Tomo,  dan Jenderal    Soedirman  meminta  saran-saran kepada para  kiai. Mereka  datang  untuk meminta  pendapat,   nasihat,  bahkan   fatwa tentang perjuangan melawan penjajah. Sampai Soekarno mengirimkan  utusannya secara khusus untuk  bertemu  KH. Hasyim  Asy'ari meminta   fatwa   hukumnya   membela   tanah air. Sebelum   keputusan   soal Resolusi  Jihad  pada  22  Oktober  1945, berkat rasa nasionalismenya Kiai  Hasyim  pada  17 September 1945  beliau  mengeluarkan  fatwa jihad  yang berisikan  ijtihad  bahwa  perjuangan membela   tanah   air   sebagai   suatu   jihad   fi sabilillah.

Selain KH Hasyim Asy'ariada sosok yang mampu membakar gelora semangat rakyat Surabaya untuk berani mati melawan penjajah. Sosok tersebut adalah Soetomo atau lebih dikenal dengan Bung Tomo. Dalam pidato Bung Tomo sering memekikkan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar). Bung tomo dikenal sebagai pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang selalu berpidato di radio pemberontakan untuk membakar semangat perlawanan pejuang rakyat Surabaya. Bung Tomo setiap saat menggembleng dan merangsang semangat revolusioner yang diorganisasi menjadi satu benteng raksasa untuk menghadapi Sekutu(Inggris). Suara Bung Tomo yang berapi-api menciutkan nyali musuh dengan teriakan "kami tidak akan menghentikan pertempuran selama tentara Belanda masih berada di daratan Indonesia". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun