Di sebuah media online terlihat berita ‘Dua Gereja di Yogya Dan Jawa Timur Dibakar, Buntur Teror Tolikara?’. Karena masih taraf dugaan, jurnalis media mainstream yang awas biasanya sangat hati-hati menurunkan berita provokatif seperti ini. Namun bagi jurnalis media online yang ngasal dengan senang hati akan mem-publish berita itu lengkap dengan ilustrasi gedung gereja yang habis dilalap api.
Media online seringkali ajaib, berita tentang semut tiba-tiba berubah menjadi berita tentang gajah. Jurnalisme yang mestinya mengandalkan data dan liputan, malah dikubur opini dan ilustrasi. Jurnalisme yang mestinya menjadi alat untuk mencuci informasi lewat konfirmasi, malah jadi penyebar prasangka.
Warga dunia maya juga tak kalah ajaib. Pembaca media online justru malas membaca berita hingga tuntas. Mereka hanya menilai berita dari judulnya. Sebuah berita bisa diobrak-abrik dengan tambahan komentar dan opini pribadi. Berita itu lalu dijajakan (share) di media sosial lewat tautan (link). Berita itu lalu tersebar luas dengan embel-embel sumpah serapah atau omelan atau caci maki atau apa saja sesuka hati.
Warga dunia maya pun sukses tergiring opini sesaat sebab saat itu mereka telah menjadi pemilik kebenaran yang mampu mengajak Tuhan main kutukan, seolah Tuhan adalah paribannya. Dan tanpa disadari mereka adalah pembaca yang sesat dan gagal paham. Mereka telah berubah menjadi editor baru sekaligus loper koran baru, loper koran gratis untuk media online sialan.
Setelah Pilpres 2014 yang sangat menguras energi, mestinya Tolikara 2015 adalah ujian kedewasaan yang sesungguhnya bagi warga dunia maya dalam bersosial media. Kecerdasan itu ada batasnya namun kebodohan itu tak ada batasnya, jangan mau jadi loper koran. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H