Kedirijaya.com, 16 Juli 2010 - Supar (36), warga Dusun Kalasan, Desa Jarak, Kecamatan Plosoklaten, dan Gatot Subroto (40), warga Dusun Goji, Desa Tempurejo, Kecamatan Wates diamankan dalam penggerebekan arena sabung ayam di Desa Jarak, Plosoklaten.
Selain mengamankan dua pejudi, petugas juga menyita sejumlah barang bukti. Diantaranya, dua ekor ayam jago, satu ember warna hitam dan uang tunai Rp 10 ribu.
Kapolsek Plosoklaten AKP Ismu Kamdaris mengatakan, penggerebekan arena sabung ayam yang berada di area persawahan itu bermula dari informasi yang diberikan masyarakat.
Polisi mendatangi lokasi dengan cara mengendap-endap. Rerimbunan kebun tebu yang mengelilingi arena, membuat para pejudi tidak mengetahui kedatangan petugas.
Para pejudi, dan penonton semburat setelah petugas menyergapnya. Mereka lari tunggang-langgang meninggalkan lokasi.
Tapi sial bagi Supar dan Gatot, mereka tidak berhasil kabur. Keduanya dibekuk petugas. Selanjutnya, pelaku beserta barang bukti dibawa ke Mapolsek Plosoklaten, untuk dilakukan pemeriksaan.
“Keduanya akan kami jerat dengan pasal 303 KUHP tentang tindak pidana perjudian dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara,” pungkas mantan Kapolsek Puncu itu.
Berita ini aku baca di Internet tadi pagi, dan kemarin sore sekitar setengah empat aku berada di tempat kejadian.
*
Sebenarnya aku lebih suka duduk di kantor. Tapi kuasa apa, pekerjaan memaksa untuk terjun ke lapangan. Agak lapar perutku. Tapi aku tahan, istriku pasti sedang memasak di rumah untuk hidangan nanti malam. Perutku yang mulai mengempes tidak boleh membuat wibawaku berkurang, jadi sebisa mungkin seragam yang kupakai harus tetap rapih. Mukaku yang sedikit berkeringat aku usap pakai sapu tangan kecil yang seharian tadi sudah beberapa kali keluar dari saku.
Mobil dinas terus melaju. Mobil ini membawaku dan keempat rekan yang lain. Seorang rekan yang mengoperasikan setir nampak serius memperhatikan jalan. Di sebelahnya duduk pula rekan sejawat sedikit mengajaknya ngobrol. Nampaknya ia juga tidak mau terlalu banyak bicara. Kami bertiga duduk di belakang, leluasa mau bicara apapun.
“Nanti kamu dari selatan,” kataku sambil menggerakkan tangan, “dan kamu utara.” Aku melanjutkan, “Kita hampir sampai”.
Desa itu masih terbelakang. letaknya berpuluh-puluh kilometer dari jalan raya utama. Sepanjang jalan makadam dipagari beluntas setinggi satu meter. Terkadang bukan beluntas, tapi pohon bambu. Kuburan, jurang, sudah beberapa kali kami lewati. Lebar jalannya pun tak lebih dari dua setengah meter. Lebar sedemikian bisa merusak cat mobil kalau sang sopir tidak menguasai medan. Dan kami yang menumpangi berpegangan kalau tidak mau salto di mobil. Ini pula alasan kenapa aku jadi berkeringat lebih. Rerumahan menghiasi sisi tepi jalan batu berlubang itu. Nampaknya hanya ada beberapa rumah dari batako atau bata. Mayoritas masih kayu, triplek. Jumlahnya pun tidak banyak seperti rerumahan yang ada di pusat kota Surabaya. Ya namanya juga jauh dari kota, pedalaman, identik dengan sawah dan tegalan (kalau tidak disebut hutan). Inilah potret ketidakmerataan pembangunan.
Kami menjadi tontonan karena naik mobil. Atau karena mobil yang kami tumpangi memang menyita perhatian? Siapa tahu. Orang-orang keluar rumah, menyaksikan mobil kami melintas. Petani di tengah sawah sejenak berhenti menanam dan berdiri menyaksikan. Kakek-kakek yang kebetulan melintasi jalan tiba-tiba berhenti dan menganggukkan kepala sejenak sambil tersenyum hormat pada kami, anak-anak berlarian di belakang ban mobil sambil berteriak, ayo ayo ayo. Balita yang masih digendongan ibunya menangis. Di depan, dibalik kebun tebu itu sudah mentok area persawahan. Mobil diparkir di salah satu pelataran rumah penduduk. Kami turun, dan segera bersiap.
Pak Daris berbincang dengan penduduk, aku dan empat rekan kerja lainnya berjalan menuju semak-semak tebu. Pistol sudah berada di pinggir kepala, dipegang dengan dua tangan. Sedikit demi sedikit kami berhasil menyibak rerimbunan pohon tebu dan mulai terdengar suara gaduh ayam dan manusia. Kami menunjukkan muka dari empat penjuru, dan kegaduhan semakin menjadi. Mereka berlari berhamburan, ayam-ayam ikut berlari, sementara kurungannya terlempar ke udara. Pistol sengaja tidak ditembakkan karena ada anak kecil di situ. Dua orang nampak kesusahan untuk melarikan diri. Seorang karena kurang keseimbangan: tangan kanannya untuk membopong balita, tangan kirinya untuk membopong ayam, sedangkan kakinya harus memilih jalan jangan sampai terperosok ke dalam tanah persawahan yang retak karena kering. Seorang lagi karena harus mengejar ayam seharga satu jutanya yang lepas. Dan keduanya berhasil diborgol ke kantor polisi naik mobil yang sama. Ayam-ayam dan si anak balita dibawa serta. Terlalu panjang untuk menceritakan perjalanan pulang ke kantor polisi. Sama saja suasananya, kecuali orang-orang yang menyaksikan mobil kami melintas tambah banyak. Nampaknya profesi sebagai polisi itu membanggakan juga, bisa jadi tontonan. Makanya ada polisi yang nekat jadi artis seperti Norman Kamaru.
Memang sejak ayam Cindelaras memenangkan pertarungan di Istana Jenggala, sabung ayam jadi ngetren di kalangan orang biasa. Mungkinkah karena mereka ingin jadi bangsawan? Bisa jadi. Ya, bisa jadi karena memenangkan taruhan berpuluh-puluh juta. Dan pikir mereka bangsawan adalah orang yang punya uang banyak. Mobil telah menginjak aspal, dan mulai terjadi pembicaraan, “Adu jago itu adat pak, mbah buyutku dulu juga adu jago, gak ono sing ngelarang!” Seorang tersangka mengguruiku. “Tapi itu melanggar hukum, itu judi! Adat jelek harus diubah!” Aku balik menggurui sambil sedikit menarik tangan kananku yang terborgol menjadi satu dengan tangan kirinya. “Hobi pak....” Kata yang lain. “Ssst....!” Sela seorang rekanku. “Memangnya orang seperti kami gak punya hak bicara pak?” Sahut yang lain lagi. “Lagipula KUHP Indonesia dasarnya apa to? KUHP penjajah, Londo! Adu Jago kok ditangkap.” Dengan lancangnya ia berkata sambil memangku balitanya yang tiada henti menangis. Tau apa dia soal KUHP. Ah, dasar orang buangan, pikirku.
Jam empat seperempat mobil tahanan sudah sampai di halaman Polsek Plosoklaten. Semua barang bukti diturunkan dan dibawa masuk. Tak lama setelah kedatangan kami, dua orang ibu-ibu datang diantar dua orang laki-laki naik motor. Seorang ibu bajunya putih lusuh, memakai celana baby doll biru ¾, berperawakan hitam, kurus, pendek, rambutnya sebahu agak kusam, mukanya jarang dibedaki, dan sepertinya belum mandi. Berbeda dengannya, yang seorang lagi memakai baju panjang dan jilbab berwarna krem, berlipstick, bergelang emas besar, dan sepertinya sudah mandi. Anak balita tadi ternyata anak si ibu kurus, dan suaminya bernama Supar. Tak lain, si ibu berjilbab dan bergelang emas adalah istri dari Gatot.
Setelah mendapat balitanya dari polisi, si ibu kurus dan ibu yang satunya lagi (nampaknya mereka berdua sudah saling kenal) keluar ruangan kantor polisi. Aku tidak tahu apakah mereka pulang atau menunggui suami mereka di ruang tunggu. Supar dan Gatot segera diperlakukan sebagaimana seharusnya diperlakukan: dikorek isi mulutnya kemudian menuju ruangan selanjutnya, sel. Aku bukan petugas yang menangani masalah interview. Aku hanya menguping dari belakang petugas, yang tidak lain adalah rekan kerjaku. Beberapa bagian dialog aku dengar.
“Pekerjaan apa? Gatot,” Tanya petugas.
“Bos Giro pak.”
“Supar.” Lanjut ia bertanya.
“manjing pak."
“Sudah lama judi ayam?”
“Sudah,” Jawab Gatot.
“Sudah pak.” Tambah Supar.
“Sering? Berapa kali seminggu biasanya?”
“Dua pak.”
“Ya, dua kali pak.”
“Alasan?”
“Kelangenan! Penghilang stress, bisa sorak-sorak, kumpul sama tetangga-tetangga.”
“Tambahan penghasilan.”
............
Jam lima lebih seperempat, mereka digiring menuju ruang pengap berbahan besi, dan meringkus hingga pagi ini.
*
Aku berangkat kerja jam setengah tujuh pagi, dan tiba jam tujuh kurang seperempat. Tadi pagi aku masih ingat istriku berpesan agar aku segera pulang karena malam ini anak kami mengajak jalan-jalan. Aku duduk di ruang kerjaku, sesegera mungkin mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. Termasuk browsing internet, update berita.
Seorang tamu yang tak asing masuk ke kantor, ibu-ibu berjilbab. Tapi kali ini ia tak datang sendiri, dengan seorang lelaki berperawakan gendut berjenggot. Keduanya masuk ke ruang Pak Daris. Aku, dan rekan yang lain melanjutkan saja apa yang kita kerjakan sebelumnya. Sebenarnya ingin menguping pembicaraan ketiganya, tapi sayang posisiku hanya bawahan, jadi tidak boleh menguping. Blackberryku tiba-tiba berdering. Istriku menelpon, dan aku wajib mengangkatnya, karena dia belahan jiwa! Aku keluar ruangan sebentar karena tak ingin pembicaraan kami dikuping. Dan aku pun tak mau menceritakannya pada kalian, rahasia kami berdua! Suasana pagi itu cerah, langit berwarna biru dengan mantari mulai terasa teriknya. Aku berdiri di depan pintu masuk. Dua puluh menit kami berbicara melalui telepon, sebelum kemudian aku masuk kembali ke dalam kantor dan berpapasan dengan ibu-ibu dan laki-laki berjenggot, dan seorang lagi, Gatot, pergi meninggalkan kantor polisi. Aku melanjutkan langkah masuk, namun aku lihat di sel masih ada Supar. “Ada apa?” tanyaku ke seorang rekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H