George Santayana mengatakan bahwa mereka yang gagal mengambil pelajaran dari dari sejarah dipastikan akan mengulangi pengalaman sejarah. Hal senada juga diamanatkan oleh presiden Republik Indonesia, Soekarno, bahwa kita jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu artinya kita tidak dapat dipisahkan dari peristiwa sejarah di masa lalu. Apa yang terjadi dimasa sekarang tidak bisa tidak selalu berkelindan dengan apa yang pernah terjadi di masa lampau.
Di bulan Maret nanti, kita akan memperingati peristiwa Serangan Umum 1 Maret yang berperan besar dalam tegaknya Republik ini. Lantas, masih adakah atau nilai-nilai apa sajakah yang masih relevan dan bisa kita ambil hikahnya untuk kehidupan dewasa ini?
Herry Zudianto, mantan walikota Kota Yogyakarta menegaskan bahwa relevansi sejarah dengan kekinian selalu ada. Herry mengingatkan pada generasi sekarang, bahwa musuh yang kita hadapi saat ini sudah berbeda. Kita sekarang sudah tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata untuk melawan penjajah sebagaimana pejuang-pejuang dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 namun kita mesti tetap menjaga semangat juang kita tidak boleh padam.. “Karena ‘musuh’ kita berbeda sehingga membutuhkan cara yang berbeda dalam menghadapinya”, lanjutnya, “Jiwa kejuangan harus selalu melekat dalam nilai-nilai social masyarakat Jogja”.
Melalui akun twitternya, Herry mengingatkan bahwa kita jangan hanya terjebak dan berpolemik tentang kebenaran versi sejarah. Diakuinya memang perjalanan sejarah bangsa kita banyak diwarnai dengan ‘klaim’ siapa yang berperan dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Namun, karena hanya sibuk berpolemik kita malah gagal dalam menangkap substansi dari peristiwa sejarah. ”Kita engga usah terjebak polemik ‘Versi’ tetapi malah lupa substansi semangat SO1 Maret”, jelasnya.
Pada kesempatan lain, Sutrisno Agus Kayun, saat ditemui di rumahnya,di Kasihan, Bantul, juga memaparkan pendapat yang senada dengan Herry. Menurutnya, saat ini musuh yang kita hadapi tidaklah musuh yang menyerang fisik, melainkan menyerang cara berbudaya dan nilai-nilai luhur bangsa kita. Ia memaparkan masyarakat kita sekarang ini telah banyak mengalami pergeseran nilai. “Dulu para pahlawan memegang erat prinsip maju tak gentar membela yang benar, namun kini yang marak terjadi adalah maju tak gentar membela yang bayar, misalnya.” Bila dahulu bohong adalah aib yang memalukan, kini bohong pun dianggap biasa, bahkan bohong dianggap baik bila untuk kepentingan orang banyak”, tuturnya sambil terkekeh.
Pak Tris yang berperingai ramah saat kami temui juga menjelaskan bahwa dewasa ini kita terjebak dalam arus budaya gegap gempita kemeriahan dan materialistik. Kita terbawa arus modernitas yang mengabaikan sisi rohani kita. “Sekarang kita banyak yang cewawakan, cewawakan itu ya cekakakan biar suasane cerah tapi maknanya kosong”. Lanjutnya, “Kini semuanya menggunakan duit, mau pinter butuh duit, mau sehat butuh duit, mau jalan butuh duit, mau dapat pekerjaan butuh duit. Semua serba uang”, tutur Pria beranak dua ini. “Duit itu kalau dalam bahasa jawa adalah arta, arta itu bermakna sebagai arti. Seharusnya dalam setiap aktivitas yang kita kerjakan bukan uang yang kita jadikan tujuan, melainkan kebermaknaan. Bila ‘arti’ yang kita cari, kemudian kita olah dan kita asah niscaya jadi arta juga”, terangnya.
Terilhami semangat Serangan Umum 1 Maret, Pak Tris ingin mengajak segenap anak bangsa yang masih memiliki kepedulian terhadap budaya luhur kita untuk meluruskan kembali pergeseran nilai-nilai yang secara sadar atau tidak disadari telah terjadi melalui bidangnya masing-masing. Bagi Pak Tris, pertunjukkan wayang adalah medannya dalam berjuang. Pertunjukkan wayang adalah sarana bagi dirinya untuk penggalian dan penyampaian nilai-nilai. Baginya, seni (pewayangan) adalah tontonan yang mengajarkan tuntunan dengan tetap berpijak pada tatanan. “Bila seni hanya untuk industri, bisa berbahaya karena seperti tadi yang saya katakana, maju tak gentar bela yang bayar. Kalau udah bayar gitu dalang kan manut, si pembayar ingin yang penting ramai, nah..,ini yg berbahaya karena hanya mementingkan ramainya penonton maka acara pertunjukkan wayang, misalnya, juga dibarengi juga acara-acara dangdutan yang gegap gempita untuk menjaring penonton,akibatnya proses penyampaian pesan nilai-nilainya terlupakan”, demikian paparnya.
Mengingat seni pewayangan kini kurang begitu diminati, “Saya mencoba menggagas mengemas pertunjukkan wayang jangan yang spektakuler, kalau perlu penontonnya hanya dasawisma, dan stage-nya jangan yang semalam suntuk, kita ambil stage-stage tertentu,agar tidak membosankan yang menonton”, lanjutnya, “Yang penting adalah proses penggalian dan penyampaian nilai kepada masyarakat”. Selain itu, Pak Tris secara inovatif mencoba mengganti debog dengan bambu yang diisi awul-awul untuk menancapkan wayang. “Biar ngga boros, mas, kalau debog kan boros karena bisa membusuk”.
Bila dikaitkan antara pertunjukkan wayang dengan kekinian, Pak Tris menjelaskan bahwa melalui seni pewayangan kita dapat megambil hikmah bahwa semua manusia mempunyai hak yang sama. ”Menonton wayang itu semua lapisan ada, pejabat nya kalo ada agenda, pedagang ada, penganggurannya ada, tidak mengenal kasta”, ungkapnya. Selain itu, dalam kehidupan yang heterogen seperti sekarang ini, khususnya bagi masyarakat Yogyakarta, kita seharusnya bisa belajar dari gamelan. “Gamelan itu symbol kerukunan, gamelan bisa untuk perekat masyarakat, sebagaimana alat-alat gamelan yg macam-macam cara membunyikannya, tapi bila kita padukan secara berirama akan menghasilkan harmoni”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H