Pada tanggal 24 Februari 2022, pukul 00:00 waktu Moskow, Putin melancarkan operasi militer melawan Ukraina dengan alasan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina. Topik ini memunculkan berbagai pertanyaan bagi masyarakat, sebenarnya apa yang menyebabkan perang ini terjadi? Mengapa Putin ingin demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina? Apa itu Buffer Zones yang banyak dibincangkan?
Sejarah Rusia-Ukraina
Hubungan antara Rusia dan Ukraina tidak baru terjalin ketika berdirinya Uni Soviet, tetapi hubungan kedua negara itu sudah berlangsung berabad-abad lamanya dan mengalami pasang surut.Â
Secara geografis, mereka memijaki rumpun yang sama karena termasuk ke dalam teritorial Eropa Timur dan mereka memiliki nenek moyang yang sama, yaitu suku Slav (Slavia).Â
Tanah air asli Slavia berada di utara Pegunungan Carpathian dan di utara garis yang membentang dari lembah Sungai Oder bagian atas di bagian barat, melintas ke tengah Sungai Vistula, Buh, Pripet, dan menuju ke atas menuju Sungai Dnieper tengah, dan Sungai Desna yang berada di timur, atau sekitar di utara-tengah dan barat Ukraina, barat daya dari Belarusia, serta bagian selatan hingga tengah, dan tenggara Polandia dalam istilah kontemporer (Magocsi, 1996:36-9).
Seiring berjalannya waktu, suku Slavia ini menyebar ke wilayah-wilayah di Eropa Selatan, Tengah, dan Timur, serta berasimilasi dengan penduduk yang sudah menempati wilayahnya terlebih dahulu (Fahrurodji, 2005:8).Â
Suku Slavia yang pergi ke Timur lah yang menjadi cikal bakal bagi bangsa Ukraina dan Rusia, dan menetap di pesisir Sungai Dnieper dan daerah selatan Danube. Kedua negara tersebut pun pernah bersatu di bawah naungan kerajaan yang sama, yaitu kerajaan Rus Kiev (Kievan Rus) di abad ke-9. Kemudian, Rusia dan Ukraina terpisah setelah Rus Kiev bubar, mereka menyatu kembali ketika Uni Soviet dibentuk, dan terpecah kembali setelah dibubarkannya Uni Soviet.
Konflik Sebelum Perang
Sebelum Insiden Penyerangan Ukraina oleh Pemerintahan Rusia sendiri, ini bisa dilatarbelakangi atas berbagai peristiwa geopolitik Eropa Timur yang menggabungkan fragmennya menjadi konflik yang kita mengalami saat ini.
Menurut Hunter (2022), konflik ini diawali dengan diberikannya Krimea dari Republik Federal Sosialis Rusia ke Republik Federal Sosialis Ukraina oleh Presiden Nikita Khrushchev di tahun 1954 pada saat merayakan 300 tahun perayaan persatuan Ukraina-Rusia. Setelah keruntuhan Uni Soviet di tahun 1991, Krimea menjadi wilayah negara Ukraina.Â
Kemudian, semenjak bubarnya Uni Soviet yang kala itu menjadi negara adidaya, Eropa berusaha untuk melindungi negara-negara di wilayahnya dengan berusaha tidak melihat Rusia sebagai ancaman bagi Eropa (mengisolasi secara politik), dan mengakomodasi Moskow karena khawatir Rusia akan seperti Jerman, yaitu Adolf Hitler yang membangkitkan kekuatan Jerman akibat distigmatisasi sebagai dalang dari peperangan yang ia terima sebelumnya (Hunter, 2022:8).Â
Untuk mengakomodasi kedamaian di Eropa, maka dibentuklah PFP (Partnership For Peace), yang mana negara-negara yang termasuk ke dalam OSCE (Organization for Security and Co-operation in Europe) dan EAPC (Euro-Atlantic Partnership Council) dapat menjadi anggota PFP. Rusia pun ikut menyetujui untuk gabung ke dalam EAPC dan juga PFP.
Awalnya, Rusia memiliki hubungan kerja sama dengan baik bersama NATO, salah satu contohnya adalah dengan memberikan dukungan kepada Barat untuk berdiplomasi mengenai Perang Bosnia di tahun 1995. Namun, Hunter (2020) pun menambahkan bahwa hubungan tersebut mulai retak ketika NATO--yang dipimpin oleh Washington--menyetujui perlindungan bagi calon anggota dari kemungkinan revanchisme Rusia.Â
Kemudian, hal ini bergerak menuju ekspansi, dan beberapa negara aliansi NATO tidak setuju akan hal ini karena merasa pernyataan ekspansi tersebut seperti membuat Rusia bak antagonis. Namun, kebanyakan dari aliansi NATO menyetujui hal ini, dan NATO pun mencetuskan bahwa ia akan memperluas wilayahnya ke Timur. Presiden Rusia saat itu -- Boris Yeltsin tak menyetujuinya, dan ketidaksetujuan Rusia akan hal itu berlanjut hingga sekarang.
Memorandum Budapest pada tahun 1994 menyangkut perjanjian antara Rusia, AS, dan Britania Raya untuk menghargai negara-negara pengembang nuklir, yaitu Ukraina, Belarusia, dan Kazakhstan. Hunter (2020) menyebutkan bahwa pada tahun 1997, dibuatlah perjanjian undang-undang NATO-Rusia yang menyangkut tentang seperangkat prinsip dan catatan luas mengenai kerja sama.Â
Namun, secara sepihak, NATO memasukkan batasan penyebaran senjata nuklir di Eropa dengan tidak bernegosiasi dengan Rusia terlebih dahulu. Â Ukraina yang memiliki senjata nuklir di dalamnya dan menjadi wilayah yang strategis di antara Eropa Barat dan Timur memutuskan untuk tidak bergabung dengan NATO saat itu, dan memilih untuk memiliki hubungan yang baik mengenai integritas teritorial, kemerdekaan politik, dan keamanan (Hunter, 2022:10).
Seiring berjalannya waktu, Rusia dan NATO memiliki hubungan yang renggang karena sering kali NATO tidak melibatkan Rusia dalam hal geopolitik, sedangkan dalam beberapa kasus, Rusia berasumsi bahwa kepentingannya terlibat (Hunter, 2022:12). Pada Juni 2002, AS menyatakan bahwa Perjanjian Anti-Ballistic Missile (ABM) 1972 tak lagi relevan bagi AS karena tak lagi ada konfrontasi nuklir AS-Soviet, sehingga AS pun menarik diri dari perjanjian tersebut (Hunter, 2022:13).
KTT Bukharest tahun 2008, Ukraina dan Georgia direncanakan untuk bergabung dengan NATO, tetapi beberapa negara tidak mendukung hal ini karena khawatir memicu ketakutan Moskow akan pengepungan dan mereka tidak siap untuk menjamin keamanan ke Ukraina ataupun Georgia, sehingga dua negara tersebut hanya dijanjikan oleh NATO bahwa mereka akan menjadi anggotanya (Hunter, 2022:15).Â
Saat ini pun, Putin memberikan peringatan kepada NATO untuk tidak mengekspansi lebih jauh, dan jika NATO tidak melakukannya, Rusia tidak lagi mendukung integritas teritorial Ukraina (Mandel, 2016:84).
Selain itu, di tahun 2014, terjadi Aneksasi Krimea oleh Rusia dan Ukraina ditawarkan untuk menandatangani kontrak ekonomi dengan NATO, tetapi pada saat itu Presiden Yanukovich tidak menandatanganinya dan menyebabkan konflik Euromaidan yang kemudian menurunkan jabatan presiden dari dirinya.
Apa maksud dari Denazifikasi?
Denazifikasi adalah manifestasi propaganda ideologis yang memiliki tujuan untuk membersihkan paham nazisme (Ghifari & Widhiasti, 2021: 78). Pada tahun 2014 lalu, di Ukraina terjadi konflik yang melibatkan dua kubu, yaitu anti-Maidan dan neo-Nazi yang diakibatkan dari keraguan Presiden Yanukovich dalam menandatangani Perjanjian Asosiasi (Free Trade Agreement) dengan Uni Eropa, dengan alasan Ukraina akan mendapatkan konsekuensi ekonomi dan sosial dari mitra utama politik dan ekonominya di Timur, sementara pihak oposisi menganggap perjanjian ini dapat menghapus korupsi dalam negeri yang menyangkut pemerintah pro-Rusia di dalamnya (Mandel, 2016).Â
Terjadi demonstrasi anti-Yanukovich yang tak terkendali dan direpresi oleh pemerintah, dan di saat yang sama, tingkat kehadiran ultra-nasionalis bertumbuh pesat (Mandel, 2016). Perjanjian itu pun ditandatangani Presiden Yanukovich dan ia pun pun lengser, digantikan oleh rezim baru yang di glorifikasi Barat (Mandel, 2016).Â
Aneksasi Krimea mendorong gerakan anti-Maidan untuk memprotes dengan menduduki gedung-gedung pemerintah di wilayah Donetsk dan Luhansk, mereka pun mendapatkan tindak kekerasan dan represi di Kiev--sama seperti yang dirasakan para demonstran anti-Yanukovich sebelumnya (Mandel, 2016).
Pada tanggal 2 Mei 2014, di Odessa, neo-fasis membantai 42 pengunjuk rasa anti-Maidan, dan pemerintah menyebut anti-Maidan sebagai 'teroris', sehingga meluncurkan operasi militer anti-teroris yang diperkuat oleh unit neo-fasis yang dimasukkan ke dalam Garda Nasional, dan di bulan-bulan berikutnya, media massa dikendalikan oleh gelombang nasionalis anti-Rusia yang didukung pemerintah serta kemarahan rakyat atas pencaplokan Krimea oleh Rusia, operasi ini setidaknya merenggut hampir 7000 nyawa (Mandel, 2016).
Kemudian, mengapa nasionalis neo-Nazi muncul sebagai anti-Rusia di Ukraina?
Mengutip dari Umland (2019) dalam jurnal "Terrorism and Political Violence" (31(1)), pada musim semi tahun 2014, kelompok batalyon sukarela yang memiliki kecondongan ideologi sayap kanan--Azov dibentuk di oblast Dnipropetrovsk'k oleh Ihor Kolomoys'kyy, yang merupakan oligarki Ukraina paling terkenal, dan secara tradisional merupakan keturunan Yahudi, dan berperan aktif dalam komunitas Yahudi di sana.Â
Ia pun menyebutkan bahwa unit sukarela seperti ini secara bertahap dipromosikan dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Ukraina--Arsen Avakov--untuk bergabung dengan Garda Nasional Ukraina yang baru di bawah pimpinannya.
Umland (2019) pun menambahkan bahwa sebelum pendirian Azov, hal berbau rasial secara terang-terangan dan tegas dinyatakan oleh para pemimpin Azov yang termasuk ke dalam ultra-nasionalis Ukraina pasca-Soviet.Â
Orang-orang itu adalah teroris Vasil'kiv--Sehir Bevz, Ihor Mosiychuk, dan Volodymyr Shpara, kemudian tahanan politik--Andriy Bilets'kyy dan Oleh Odnorozhenko.Â
Sebagai salah satu contoh, ia pun memberikan kutipan langsung Andriy Bilets'kyy yang menyatakan secara terbuka bahwa mereka adalah anti-migran, mereka pun berkata bahwa Nasionalisme Ukraina adalah komunitas berbasis ras dan darah, serta penyembuhan tubuh nasional Ukraina harus didahulukan dengan pembersihan rasial bangsa, dan kelompok mereka dipimpin oleh  para Semit.Â
Tak hanya itu, seorang peneliti sayap kanan pasca-Soviet---Likhachev---menyebutkan jika Bilets'kyy telah mengemukakan ekspresi disonansi kognitif atau menutupi biografi politiknya dengan cara secara terang-terangan menyatakan pernyataan rasisme yang berhubungan dengan informasi Rusia (Umland, 2019:112).
Alasan Putin Menginvasi Ukraina
Alasan Putin menginvasi Ukraina secara mendalam itu masih diperdebatkan, tetapi menurut berbagai ahli, hingga menurut kedua kubu NATO dan Kremlin dapat dikatakan sebagai berikut.
Dalam Kutipan Kompas oleh Gama Prabowo Menjelaskan, Salah satu alasan yang paling kuat adalah Kawasan Buffer Zone antara Kremlin dengan para anggota NATO, ini dikarenakan sikap Ukraina yang bersifat netral sekaligus dengan insiden Revolusi Harga Diri (Â ) membuat Rusia tidak memiliki pilihan lain, selain mengambil alih wilayah etnis Rusia di Ukraina, terutama di wilayah Ukraina Timur dan Krimea, sehingga Putin menganeksasi Ukraina dan mengakui adanya negara Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk.
Menurut mantan wakil menteri ESDM--Arcandra Tahar, alasan yang kuat lainnya adalah Energi Potensial Ukraina setelah adanya penemuan kandungan gas di wilayah Zona Eksklusif Ukraina yang mampu mencapai 2 Triliun m3 Â gas alam, sehingga dari itu, Rusia menakuti Ukraina yang menjadi tempat alternatif penyedia gas alam bagi Uni Eropa, sekaligus Ukraina sebagai tempat pengekspor yang sangat strategis tanpa memberikan suatu tarif khusus untuk penyediaan bahan mentah bagi anggota Uni Eropa lainnya.
Ada pun menurut seorang ahli sejarah bernama Andrey Zubov, dirinya meyakini bahwa maksud dan tujuan Putin melakukan penyerangan terhadap Ukraina sangatlah jelas. Zubov percaya bahwa Ukraina ingin dijadikan seperti Belarusia dan mendambakan kehadiran pemimpin seperti Lukashenko yang terkenal dekat dengan Moscow.Â
Hal selanjutnya yang Ia yakini adalah keinginan Putin untuk kembali membentuk sebuah sistem Uni Soviet yang baru. Untuk itu, Zubov menjelaskan bahwa kemunculan bendera Uni Soviet di berbagai kendaraan militer Rusia saat memasuki Kherson adalah sebuah unsur simbolik sebagai 'reinkarnasi' semangat pembalasan Bolshevik.Â
Menurutnya, Ukraina sudah melewati batasan yang menyinggung kepentingan Rusia. Alasan utamanya tentu perihal hubungan Ukraina dengan Barat yang semakin dekat.
 Alasan lain yang memotori serangan ini adalah penghapusan segala unsur Uni Soviet di dalam negeri Ukraina. Hal tersebut termasuk penghapusan nama jalan, monumen dan segala hal yang berhubungan dengan  Uni Soviet dan identitas Rusia itu sendiri.
Disusun oleh Departemen Keilmuan IKASSLAV UI 2022:
1. Fatma Maula Syakira
2. Darryl Muhammad Rakha
3. Stanley Satria Utama
Sumber Referensi
Fahrurodji, A. (2005). Rusia Baru Menuju Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ghifari, D. A., & Widhiasti, M. R. (2021, January). Denazification in Netflix Series Dogs of Berlin (2018). In International University Symposium on Humanities and Arts 2020 (INUSHARTS 2020) (pp. 78). Atlantis Press. Retrieved from https://www.atlantis-press.com/article/125962550.pdf
Hunter, R. (2022). The Ukraine Crisis: Why and What Now?. Survival, 64(1), 7-28. Retrieved from https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00396338.2022.2032953
Kinasih, S. (2022, January 21). Pangkal Ketakutan Rusia, Ekspansi NATO atau Demokratisasi Ukraina? Tirto.ID. Retrieved from https://tirto.id/pangkal-ketakutan-rusia-ekspansi-nato-atau-demokratisasi-ukraina-gnRy
Kuzio, T. (2018). Euromaidan revolution, Crimea and Russia--Ukraine war: why it is time for a review of Ukrainian--Russian studies. Eurasian Geography and Economics, 59(3-4), 529-553. Retrieved from https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15387216.2019.1571428
Magocsi, P. R. (1996). A History of Ukraine. University of Toronto Press. ISBN 0-8020-7820-6
Mandel, D. (2016). The conflict in Ukraine. Journal of Contemporary Central and Eastern Europe, 24(1), 83-88. Retrieved from https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0965156X.2016.1171011
Prvlakis, G. (2009). (2009). Buffer Zone. In N. Thrift & R. Kitchin (Eds.), International Encyclopedia of Human Geography (pp. 362-367). Elsevier Science. Retrieved from https://doi.org/10.1016/B978-008044910-4.00761-6
Sokolov, Mikhail. (2022, February 5). Zachem Putin Napal na Ukrainu?. Radio Svoboda. Accessed 9 Maret, Â 2022. Retrieved from https://www.svoboda.org/a/zachem-putin-napal-na-ukrainu/31722623.html
Umland, A. (2019). Irregular militias and radical nationalism in post-euromaydan Ukraine: The prehistory and emergence of the "Azov" Battalion in 2014. Terrorism and Political Violence, 31(1), 105-131. Retrieved from https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09546553.2018.1555974
Wasiura, M. (2021, November 24). The ballot, not the bullet: Russia's pursuit of a geopolitical buffer zone. Institute of Modern Russia. Retrieved from https://imrussia.org/en/analysis/3382-the-ballot,-not-the-bullet-russia%E2%80%99s-pursuit-of-a-geopolitical-buffer-zone
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H